Menelisik Biografi Abdurrahman Wahid
Oleh Hairus Saleh
Mengenai hari
kelahiran Gus Dur, beberapa penulis berbeda pendapat. Tim Institute of Culture
and Religion Studies (INCRES), id.wikipedia.org dan beberapa penulis menyebutkan bahwa tanggal
kelahirannya bertepatan pada 4 Agustus 1940 M. Sedangkan Greg Barton menyebutkan bahwa pada 7 September adalah tanggal kelahiran Gus
Dur. Alasannya, penanggalan kelahiran Gus Dur berdasarkan
pada penanggalan Islam, yaitu 4 Sya’ban yang bertepatan pada tanggal 7
September 1940 M.[2]
Nama AbdurrahamanWahid sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Abdurrahman Wahid
dikenal juga dengan nama Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan untuk putra
dari keluarga Kiai. Gus itu sendiri adalah kependekan dari kata bagus. Di
Madura, gus (bagus) dikenal dengan istilah lora. Dia adalah anak
pertama dari enam bersaudara dari pasangan priyai terkemuka di Indonesia.
Bapaknya, Kiai Abdul Wahid Hasyim adalah putra Kiai Hasyim Asy’ari yang
merupakan pendiri oraganisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, jamʻiyah
Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan ibunya, Nyai Sholehah, adalah putri dari tokoh
besar NU dan juga seorang Kiai terkemuka, Kiai Bisri Syamsuri.[1]
Foto K.H Abddurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia |
Tetapi Greg Barton
dan Tim Institut of Culture and Religion Studies (INCRES) sepakat bahwa Gus Dur
adalah keturunan dari Lembu Peteng (raja Brawijaya VI) melalui Jaka Tingkir
(putera Lembu Peteng), pangeran Bawana (putera Jaka Tingkir).[3]
Jaka tingkir adalah tokoh yang pertamakali dianggap sebagai orang yang
memperkenalkan Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa. Sedangkan pangeran
Bawana merupakan orang yang rela meninggalkan kemegahan kerajaan demi mengajar
sufisme kepada masyarakat.[4]
Baca juga : Kemampuan Akal menurut al Razi
Baca juga : Kemampuan Akal menurut al Razi
Sejak belajar
bersama kakeknya, Gus Dur memang sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam
pendidikan ia justru belajar di sekolah-sekolah sederhana. Di masa kecil ia
belajar di pondok pesantren yang diasuh kakeknya. Ketika di Jakarta, ia belajar
di sekolah dasar KRIS (Jakarta Pusat) dan pindah ke SD Matraman Pertiwi.[5]
Untuk tingkat sekolah menengah pertama ia sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama (SMEP) Tanah Abang, dan pindah ke SMEP Yogyakarta. Di samping itu ia
juga belajar ilmu agama kepada Kiai pengasuh pondok pesantren seperti KH.
Maksum Ali, KH. Fatah, KH. Masduki dan KH. Bisri Syamsuri.[6]
Selain kakeknya,
ayah Gus Dur, Wahid Hasyim (pemimpin Islam sekaligus pejabat kementerian agama)
mempunyai jasa yang besar terhadap perkembangan intelektual Gus Dur. Ayahnyalah
yang mengajarkannya banyak hal, terutama dalam hal pluralitas dan toleransi.
Karena Gus Dur adalah orang yang selalu menemani Wahid Hasyim dalam setiap
aktivitasnya dengan berbagai golongan, termasuk dengan Tan Malaka.[7]
Gus Dur memang
sosok yang mempunyai kebiasan berbeda dengan lainnya. Sejak kecil ia sudah
terbiasa berbaur dengan berbagai golongan dan keadaan sebagaimana diajarkan
kakek dan ayahnya. Kebiasaan ini turut memperkaya khazanah intelektualnya,
karena setiap orang yang pernah berinteraksi dengannya pasti membawa budaya,
ideologi serta kemampuan intelektualnya. Seperti Willem Buhl, di samping
mengajarinya bahasa Belanda, ia juga menyuguhkan musik klasik ala Eropa.[8]
Inilah modal awal Gus Dur yang akan menyadarkanya tentang pentingnya saling
menghormati dan pentingnya memanusiakan manusia.
Dari aspek
intelektual, Gus Dur juga merupakan sosok yang mempunyai kebiasaan berbeda
dengan orang lain seusianya. Ketika di Jakarta, ia sering membaca buku di
Perpustakaan Umum dan akrab dengan berbagai majalan, surat kabar, novel,
filsafat, dokumen sejarah manca negara, cerita silat hingga fiksi sastra.[9]
Hal itu didukung oleh anjuran ayahnya untuk membaca buku apa saja yang disukai
dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka temukan.[10]
Maka dari itu,
menjadi sangat wajar jika dalam usia 15 tahun saja ia sudah membaca buku-buku
berat seperti Das Kapital karya Karl Marx, buku-buku filsafat Plato,
Thales, novel-novel William Bocher dan Romantisme Revolusioner karangan
Lenin Vladimir Ilych.[11]
Bacaannya tentang pemikiran filsafat barat juga diteruskan sampai ia kuliah di
Universitas Baghdad Iraq. Ia banyak membaca pemikiran Emile Durkheim dan
filosof-filosof Barat lainnya.[12]
Tetapi yang tidak kalah bahwa ia juga belajar dengan tekun tentang buku-buku Islam
tradisional sejak keberadaannya di pondok pesantren, Universitas al-Azhar Mesir
dan Universitas Baghdad. Serta banyak membaca tentang sastra dan kebudayaan
Arab, dan teori sosial.[13]
Meskipun Gus Dur
banyak membaca buku tentang pemikiran-pemikiran barat, tetapi tidak kemudian
melupakan bacaan-bacaan dan ajaran Islam tradisional yang merupakan identitas
ideologinya. Pemikiran-pemikiran barat tampak banyak memengaruhinya, sehingga
ia mampu berpikir secara sistematis. Yaitu kajian-kajian yang dikelutinya
dilakukan secara empiris dengan menggunakan pisau mitodologi yang tajam. Ia
juga tetap mempertahankan ajaran spritualitas dengan mengunjungi makam para
wali. Di samping itu ia mendapat pengokohan ajaran spiritualitasnya dengan menggeluti
ajaran Imam Junaidi al-Baghdadi.[14]
Dalam pandangannya
mengenai Islam, ia banyak mengaji mengenai Islam tradisional dan menghormati
kebudayaan lokal. Hal itu yang menjadikan Gus Dur tidak terbatasi oleh
ideologi, sehingga ia mempunyai ruang yang lebih luas di ranah nasional
dibandingkan dengan Kiai lain. Dengan demikian ia dijuluki dengan sebutan Kiai
ketoprak.[15]
Tidak puas-puasnya
Gus Dur belajar. Meskipun sudah menjabat sebagai presiden, ia tetap tidak
gengsi untuk terus belajar pada orang-orang yang dianggap lebih hebat darinya.
Orang yang dijadikannya guru selain guru di pesantren ialah Presiden Kim Dae
Jung yang merupakan Presiden Seoul dan Sulakhshi Bharaksa dari Thailand.
Keduanya ialah guru Gus Dur yang masih hidup di masanya. Sedangkan gurunya yang
sudah meninggal di antaranya Ialah Sun Yat Sen, Jose Rizal, Jawaharal Nehru,
Mahatma Gandhi dan Soekarno.[16]
Sepulangnya ke
Indonesia, Gus Dur banyak berkiprah di dunia penulisan dan aktivitas akademis
lainnya. Misalnya ia aktif menulis di Majalah Tempo, Jurnah Prisma, Kompas dan
Pelita.[17]
Kemudian dia mendirikan Forum Demokrasi (FORDEM). Sekaligus penggagas
berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (Gandi).
Baca juga : Cara Memperoleh Kebahagiaan Menurut Al Farabi
Baca juga : Cara Memperoleh Kebahagiaan Menurut Al Farabi
Gus Dur juga
pernah menjadi salah seorang presiden pada Konfrensi Dunia untuk Agama dan
Perdamaian yang berkedudukan di
Jenewa, Swiss. Ia juga pernah menjadi anggota Pembina Simon Pereze untuk
Perdamaian yang Bermarkas di Tel Aviv, Israel dan menjadi dewan penasehat pada Internasional
Dialoque Foundation on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di
Den Haag, Belanda.[18]
Berbagai
penghargaan juga pernah dinobatkan kepadanya. Salah satunya ialah penghargaan
Nobel Asia yang disebut Hadiah Ramon Magsaysay yang digelar di Manila,
Filipina. Penghargaan tersebut diberikan berdasarkan keterlibatan yang besar
dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap demokrasi serta upaya menumbuhkan
toleransi antar umat beragama di Indonesia.[19] Penghargaan
yang diterima tersebut tidak salah, karena selama hidupnya Gus Dur memang
memerjuangkan kemanusiaan lewat demokrasi. Menurut putrinya, Yenny Zannuba
Wahid, di sambutan dalam suatu buku, bahwa Gus Dur adalah orang yang sepanjang
hidupnya berjuang untuk kemanusiaan.[20]
[1] Tim Institute of Culture and Religion Studies (INCRES), Beyond
the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur
(Bandung: INCRES, 2000), Cet. Ke-1, h. 4.
[5] Greg, Biografi
Gus Dur, h. 70.
[6] Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid:
Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Bina Utama, 1999), h. 4-5.
[7] Greg, Biografi
Gus Dur, h. 35.
[8] Tim INCRES, Beyond
the Symbols, h. 6.
[9] Tim INCRES, Beyond
the Symbols, h. 7.
[10] Greg, Biografi
Gus Dur, h. 40.
[12] Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman
Wahid” dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terj. Ahmad Suaedy dkk (Yogyakarta: LKiS,
1997), h. 170.
[14] Budi Hadrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
Pengusung Ide Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama (Jakarta:
Hujjah Press, 2007), h. 18.
[19] Mujamil Qamar, NU Liberal dari Tradisionalisme
ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 167.
[20] Yenny Zannuba Wahid, “Gus Dur: Seorang Pejuang
Kemanusiaan,” Rumadi (ed), Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Kompas,
2010), h. xix.
Post a Comment for "Menelisik Biografi Abdurrahman Wahid"