Argumen Ontologis: Benarkah Tuhan itu Ada?
Permasalahan tentang keberadaan Tuhan adalah isu yang telah menjadi
bahan perdebatan sejak lama dan terus menjadi topik yang menantang hingga kini.
Para ilmuwan dan filsuf telah mencurahkan banyak usaha untuk menjawab
pertanyaan ini, tetapi semakin dalam mereka menggali, semakin banyak pula
pertanyaan yang muncul. Kajian tentang ketuhanan tidak hanya dimulai sejak
zaman Yunani Kuno, tetapi bahkan jauh sebelumnya, pencarian argumen keberadaan
Tuhan sudah berlangsung, bahkan sejak lahirnya manusia pertama. Menurut Karen
Armstrong dalam bukunya yang terkenal, A History of God, manusia
menerima keberadaan Tuhan bukan karena rasionalitas, melainkan karena keyakinan
atau hati manusia menerima argumen ketuhanan yang sesuai dengan perasaan batin
mereka. Meskipun demikian, para ilmuwan terus berusaha membuktikan keberadaan
Tuhan dari berbagai perspektif. Secara garis besar, argumen-argumen ini dapat
diklasifikasikan menjadi empat kategori utama diantaranya adalah argument ontologis.
Dalam bukunya, Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa ontologis
berasal dari kata ontos, yang berarti "sesuatu yang berwujud,"
dan ontologi adalah teori atau ilmu tentang wujud atau hakikat yang ada.
Argumen ontologis tidak banyak bergantung pada observasi alam nyata, melainkan
lebih pada logika murni. Argumen ontologis ini pertama kali dipelopori oleh
Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Ide yang dimaksud oleh Plato adalah
definisi atau konsep universal dari setiap hal. Menurut Plato, segala sesuatu
yang ada di alam ini hanyalah bayangan semata dari ide-ide yang berada di alam
ide. Ide-ide tersebut adalah hakikat dari segala sesuatu dan merupakan dasar
dari keberadaan benda-benda di alam nyata. Ide-ide ini bersifat kekal dan
berada tersendiri di alam ide. Benda-benda di dunia nyata, yang terus-menerus
berubah, bukanlah benda-benda yang asli, melainkan hanya bayangan dari ide-ide
tersebut. Ide-ide ini terkumpul dalam ide tertinggi, yang disebut sebagai ide
kebaikan mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa. Ide kebaikan mutlak ini adalah
sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada.
Selain Plato,
argumen ontologis juga dikembangkan oleh St. Agustinus (354-430 M). Ia
berpendapat bahwa di alam ini terdapat kebenaran yang abadi dan tetap. Akal
manusia dapat mengetahui kebenaran ini, tetapi terkadang ragu apakah yang
diketahuinya benar. Hal ini menunjukkan bahwa di atas akal manusia masih ada
kebenaran yang lebih tinggi dan tak berubah-ubah. Kebenaran yang tetap dan
kekal ini adalah sumber cahaya bagi akal dalam memahami apa yang benar, dan
kebenaran mutlak ini disebut sebagai Tuhan. Kemudian, argumen ontologis ini
juga dikembangkan oleh St. Anselm dari Canterbury (1033-1109 M). Ia mengajukan
konsep tentang sesuatu yang Maha Besar dan Maha Sempurna sesuatu yang tak
terbatas. Zat yang memiliki sifat-sifat ini pasti memiliki wujud dalam
realitas, karena jika ia hanya ada dalam pikiran, maka ia tidak akan lebih
besar dan sempurna dari yang lain. Memiliki wujud dalam realitas lebih besar
dan sempurna daripada hanya ada dalam pikiran. Oleh karena itu, sesuatu yang
Maha Sempurna dan Maha Besar ini, yaitu Tuhan, harus ada dan mempunyai wujud.
Tuhan mesti ada.
Kepercayaan
manusia terhadap eksistensi Tuhan, meskipun sering diperdebatkan dan diuji
melalui berbagai argumen rasional seperti argumen ontologis, pada akhirnya
tidak sepenuhnya didasarkan pada logika semata. Banyak orang menerima
keberadaan Tuhan bukan karena argumen filosofis yang mereka anggap tak
terbantahkan, melainkan karena pengalaman batin dan keyakinan spiritual yang
mendalam. Keyakinan ini sering kali muncul dari kebutuhan akan makna, tujuan
hidup, dan hubungan yang melampaui dunia fisik yang dapat diindera. Dalam hal
ini, pencarian akan keberadaan Tuhan tidak hanya merupakan upaya intelektual,
tetapi juga perjalanan emosional dan spiritual yang melibatkan seluruh aspek
kemanusiaan. Pengalaman religius, tradisi, dan pengajaran moral juga memainkan
peran penting dalam membentuk keyakinan ini. Oleh karena itu, pencarian manusia
akan Tuhan tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari dimensi spiritual dan
emosional yang mendalam, yang melampaui batas-batas argumen rasional. Tuhan
menjadi pusat dari makna hidup yang tidak hanya dipahami oleh akal, tetapi
dirasakan dan diyakini melalui hati, pencarian tersebut sebagai salah
satu aspek paling mendasar dari eksistensi manusia.
Post a Comment for "Argumen Ontologis: Benarkah Tuhan itu Ada?"