Humanisme Masyarakat Madura
Masyarakat Madura tidak hanya stagnan dan terpaku pada masalah yang vertikal saja, karena ia sadar bahwa hidup tidak
hanya semata-mata untuk Tuhan, tapi dalam hidup juga berkaitan dengan masyarakat di sekitar.
Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan akan Tuhan yang maha esa, ia juga menurunkan nilai-nilai ketuhanan pada prilaku dalam hubungannya dengan sesama manusia, bahkan mereka sangat menghargai alam sebagai makhluk Tuhan. Itulah yang kita sebut sebagai bentuk humanisme masyarakat Madura.
Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan akan Tuhan yang maha esa, ia juga menurunkan nilai-nilai ketuhanan pada prilaku dalam hubungannya dengan sesama manusia, bahkan mereka sangat menghargai alam sebagai makhluk Tuhan. Itulah yang kita sebut sebagai bentuk humanisme masyarakat Madura.
Artinya, masyarakat Madura menjunjung tinggi nilai humanisme.
Humanisme yang dimaksud ialah perlakuan terhadap sesama manusia sebagaimana
seharusnya yang menurut Zawawi Imron nilai-nilai kemanusiaan itu sudah tertanam
dalam diri masyarakat Madura pada umumnya.[1]
Baca juga : Filosofi Asapok Angin Abental Ombek (Filosofi Madura)
Dalam bermasyarakat, masyarakat Madura berprilaku sebagaimana yang telah diperintahkan Tuhan secara implisit dalam kitabNya, yaitu saling menyayangi, membantu dan menghargai, terutama kepada tamu. Di Madura keadaan tersebut dikenal dengan istilah ngormat tamoi. Bagi masyarakat Madura, tamu bagaikan raja. Bagaimana ketika raja berkunjung ke rumah warganya, maka seperti itulah posisi dan status tamu bagi mereka.
Bagi orang Madura, bertamu berarti menghargai (oreng namoi reyah artenah ngargeih). Oleh karena itu
setiap orang yang bertamu kepada orang lain, secara implisit orang itu sudah
sangat menghargai orang lain dangan mengakuinya sebagai salah satu dari bagian
hidupnya. Karena penamu telah menghargai yang ditamui, tuan rumah meresponnya
dengan kebaikan yang lebih, yaitu dengan memosisikannya sebagaimana raja.
Mayoritas masyarakat Madura adalah kalangan menengah kebawah dalam segi
ekonomi. Mereka yang berada di ekonomi menengah kebawah, tentunya untuk makan
enak atau membeli makanan saja sudah sangat berat. Tetapi ketika seseorang bertamu kepada mereka, apalagi dari luar daerah, mereka pasti membelikan sang
tamu sesuatu yang tidak pernah ia makan dalam kesehariannya. Bahkan seandainya
mereka pun hanya mempunyai satu piring nasi untuk dimakan satu hari tersebut, mereka memilih untuk lebih mengutamakan tamu dari pada dirinya. Lebih baik tuan rumah yang tidak makan dari
pada tamu yang harus terlantar. Begitu lah orang Madura memperlakukan tamu.
Perlakuan yang demikian itu bukan semata-mata karena kebiasaan yang
kemudian melahirkan kewajiban mutlak untuk terus melayani tamu sebaik mungkin,
tetapi karena memang seharusnya tamu itu diperlakukan demikian. Tamu bagi mereka, dipandang tidak sebagai selain tamu, sehingga tamu itu sendiri menjadi utuh
sebagai tamu yang harus dilayani.
Dalam konsep filsafat, apa yang tampak pada masyarakat Madura sudah
sangat rasional, karena telah memperlakukan sesuatu sebagaimana adanya dan
sebagaimana seharusnya. Perlakuan sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya
itu tampak pada tamu yang tidak diperlakukan sebagai kuli bangunan, tidak pula
sebagai pencuri dan juga pembunuh.
Humanisme masyarakat Madura memang tidak dapat dipisahkan antara
hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan ini tampak pada simbol arek lancor.
Bangunan monomen arek lancor meruncing keatas yang kemudian melebar kebawah.
Agar lebih jelas kita bisa mengandaikan atau menganalogikan selayaknya segi
tiga yang tegak dan kokoh. Lambang melebar dari bawah menunjukkan hubungan
horizontal antar sesama manusia dan tidak luput dengan makhluk. Simbol itu
terus mengerucut ke atas menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan
antara hubungan horizontal dan vertikal. Segala hubungan yang horizontal
–segala urusan keduniaan- terus bermuara pada satu titik yang nantinya bertemu
di ujung arek lancor. Ujung itu merupakan titik tertinggi sebagai lambang
ketuhanan.
Sebenarnya
masih banyak lagi humanisme yang bisa kita ungkap secara jelas dan baik dalam
sub ini. Tetapi tentang celurit yang diklaim sebagai alat yang memicu kekerasan
dan watak orang Madura yang menakutkan[2] akan kita bahas di sub
khusus. Pembahasan ini merupakan inti dari pembahasan arek lancor karena ini
adalah antitesa dari klaim tersebut karena memang klaim ini tidak sesuai dengan
falsafah arek lancor yang sudah tertanam di tengah-tengah salah satu kota di Madura, Pamekasan.
[1] Suryadi, Celurit Baja
atau Celurit Emas, http://achsuryadi.blogdetik.com
[2] Hairus Saleh, Citra
Madura di Mata Dunia, sabdakhairuss.blogspot.com
Post a Comment for "Humanisme Masyarakat Madura"