Pengertian Manusia Menurut Sayyen Husein Nasr
Pengertian manusia menurut pandangan Sayyen Husein Nasr akan kita bahas dalam kesempatan ini. Nasr merupakan filosof muslim kontemporer yang sangat produktif menanggapi pandangan dunia medern yang jauh dari agama.
What is a man? Pertanyaan itu diajukan Jujun S. Suriasumantri ketika ia memulai bahasan tentang filsafat.[1] Maksud pertanyaan itu adalah, pada tahap permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan perihal jati diri manusia.
Manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibahas. Bukan saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi pembahasan manusia tidak dapat terlepas dari sejumlah sistem budaya, tradisi, agama dan filsafat dengan segala perbedaan latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya.[2] Kenyataan ini kemudian membawa kita pada suatu pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan spesial, pengaruh luar biasa dan penuh misteri.
Selain sebagai satu-satunya makhluk yang sempurna di antara makhluk Tuhan lainnya, manusia juga merupakan makhluk yang multi dimensi, yaitu makhluk yang secara mendasar mempunyai dimensi ragawi, dimensi rohani, dan dimensi sosio-kultural. Manusia sebagai makhluk ragawi (biologis) adalah makhluk hidup yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dasar seperti makan, minum dan seks. Manusia sebagai makhluk rohani (religius) adalah makhluk hidup yang memiliki jiwa dan keyakinan serta kepercayaan untuk menyembah Tuhan. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial adalah makhluk yang selalu bersosialisasi, berorganisasi, dan berhubungan dengan sesama manusia lainnya. [3]
Menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk memperoleh pengetahuan total tentang nama-nama benda sebagai prasyarat untuk menjadi Manusia Sempurna (al-Insân al-Kâmil), cermin yang memantulkan Nama dan Sifat Allah.[4] Dengan mendapat pengetahuan tersebut, ia kemudian ditunjuk sebagai khalîfah Allah di bumi – ini adalah kehormatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.[5] Manusia diberi hak untuk menguasai alam hanya karena watak teomorfik-nya, bukan karena pemberontakannya terhadap langit.[6]
Hasan Langgulung memberikan definisi tentang manusia dengan merujuk dari kata insân dan basyar yang ada didalam al-Qurân. Definisi basyar ini menunjukan bentuk material manusia yang bersifat biologis. Dalam hal ini semua anak Adam sama dan serupa. Sedangkan kata insân mengandung pengertian manusia yang mengalami perkembangan ke arah yang membolehkannya menduduki sifat khalîfah di bumi, memikul tanggung jawab (taklîf) dan amanah, sebab dia menerima ilmu, bayân, dan ‘aql yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga kedudukan manusia paling tinggi di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya.[7]
Pertanyaan tentang siapakah manusia, asal-usul dan tugasnya di dunia sebenarnya telah ada sejak lama. Sejarah pemikiran Barat modern sejak Descartes ditandai dengan usaha menjawab pertanyaan tersebut. Dan seiring dengan berkembangnya pemikiran, muncul berbagai aliran filsafat yang masing-masing memiliki corak pemikiran tersendiri. Salah satu aliran yang ada ialah filsafat perennial, yaitu sebuah filsafat yang dipandang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi spiritual manusia.[8]
Salah satu tokoh dari aliran filsafat ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Untuk memahami konsep manusia Nasr, kita harus berangkat dengan memahami kritiknya terhadap manusia modern. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya, karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya.[9] Ungkapan ini disampaikan Nasr dalam mengomentari cara pandang manusia terhadap alam. Dikatakannya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki horizon spiritual.
Hal itu terjadi bukan karena horizon spiritual itu tak ada, tapi karena manusia modern – dalam istilah filsafat perennial yang sering diintrodusir oleh Nasr – “hidup di pinggir lingkaran eksistensi”. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada “pusat spiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang – memberi perhatian pada dunia dan eksistensi di luar dirinya – ia memperoleh pengetahuan dunia material yang secara kuantitas sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya – menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri – ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya.[10]
Dalam pandangan Nasr, manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu manusia modern dan manusia tradisional, yang terakhir ini disebutnya pula sebagai manusia suci, sebagaimana dijelaskannya dalam salah satu karyanya:
Konsep tentang manusia suci, pontifex, atau jembatan antara surga dan bumi, yang merupakan pandangan tradisional anthropos, terletak pada antipoda konsep manusia modern yang membayangkan manusia sebagai ciptaan Promethean di bumi, melawan surga dan berusaha menyalahgunakan peranan Tuhan bagi dirinya sendiri. Manusia suci, dalam pengertiannya di sini, tidak lain daripada manusia tradisional, hidup di dalam dunia yang mempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berupaya untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.[11]
Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr berusaha menegaskan bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia yang sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti kearifan spiritual dalam kehidupannya.
Menurut Nasr, fungsi kesalehan manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal. Inilah sebabnya mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antara surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai fungsi-sungsi kosmik untuk menyadarkan bahwa tidak mungkin manusia menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup di bumi yang tidak 8 sekedar berhubungan dengan keduniaan semata, tetapi untuk merefleksikan kekuasaan Tuhan di dunia.[12] Nasr menulis:
Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi direfleksikan dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya. Manusia adalah dirinya sendiri, keberadaan alamiah secara supra natural. Ketika dia berjalan-jalan di muka bumi, pada satu sisi dia muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain, dia merupakan keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi. Sebaliknya, memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya merupakan kemampuan alamiah yang bersifat supra natural...[13]
Seyyed Hossein Nasr berusaha menjelaskan hakikat diri manusia melalui perspektif filsafat perennial – yang ia sebut sebagai filsafat tradisional – yang pembahasannya justru berbeda dengan perspektif modern yang didasarkan kepada sains.[14] Nasr berkeyakinan bahwa penjelasan tuntas tentang hakikat manusia dapat ditemukan secara jelas dalam teks-teks tradisional dan keagamaan.
Itulah pengertian manusia menurut Sayyed Husein Nasr. Jika ada kekurangan mohon ditambah melalui komentar.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 27.
[2] Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanusius, 2004), h. 58.
[3] Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 175.
[4] Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001), h. 22-23.
[5] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Ircisod, 2005), h. 115.
[6] Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Shari’ati”, dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987), Cet. 2, h. 175.
[7] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), h. 286.
[8] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 7.
[9] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 1.
[10] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 2.
[11] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 185.
[12] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 183-184.
[13] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 184.
[14] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 5. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 195.
What is a man? Pertanyaan itu diajukan Jujun S. Suriasumantri ketika ia memulai bahasan tentang filsafat.[1] Maksud pertanyaan itu adalah, pada tahap permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan perihal jati diri manusia.
Manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibahas. Bukan saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi pembahasan manusia tidak dapat terlepas dari sejumlah sistem budaya, tradisi, agama dan filsafat dengan segala perbedaan latar belakang budaya dan pemikiran yang melingkupinya.[2] Kenyataan ini kemudian membawa kita pada suatu pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan spesial, pengaruh luar biasa dan penuh misteri.
Sayyed Husein Nasr, Filosof Muslim dari Iran |
Menurut Islam, tujuan kemunculan manusia di dunia adalah untuk memperoleh pengetahuan total tentang nama-nama benda sebagai prasyarat untuk menjadi Manusia Sempurna (al-Insân al-Kâmil), cermin yang memantulkan Nama dan Sifat Allah.[4] Dengan mendapat pengetahuan tersebut, ia kemudian ditunjuk sebagai khalîfah Allah di bumi – ini adalah kehormatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.[5] Manusia diberi hak untuk menguasai alam hanya karena watak teomorfik-nya, bukan karena pemberontakannya terhadap langit.[6]
Hasan Langgulung memberikan definisi tentang manusia dengan merujuk dari kata insân dan basyar yang ada didalam al-Qurân. Definisi basyar ini menunjukan bentuk material manusia yang bersifat biologis. Dalam hal ini semua anak Adam sama dan serupa. Sedangkan kata insân mengandung pengertian manusia yang mengalami perkembangan ke arah yang membolehkannya menduduki sifat khalîfah di bumi, memikul tanggung jawab (taklîf) dan amanah, sebab dia menerima ilmu, bayân, dan ‘aql yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga kedudukan manusia paling tinggi di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya.[7]
Pertanyaan tentang siapakah manusia, asal-usul dan tugasnya di dunia sebenarnya telah ada sejak lama. Sejarah pemikiran Barat modern sejak Descartes ditandai dengan usaha menjawab pertanyaan tersebut. Dan seiring dengan berkembangnya pemikiran, muncul berbagai aliran filsafat yang masing-masing memiliki corak pemikiran tersendiri. Salah satu aliran yang ada ialah filsafat perennial, yaitu sebuah filsafat yang dipandang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi spiritual manusia.[8]
Salah satu tokoh dari aliran filsafat ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Untuk memahami konsep manusia Nasr, kita harus berangkat dengan memahami kritiknya terhadap manusia modern. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya, karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya.[9] Ungkapan ini disampaikan Nasr dalam mengomentari cara pandang manusia terhadap alam. Dikatakannya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki horizon spiritual.
Hal itu terjadi bukan karena horizon spiritual itu tak ada, tapi karena manusia modern – dalam istilah filsafat perennial yang sering diintrodusir oleh Nasr – “hidup di pinggir lingkaran eksistensi”. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu, tidak pada “pusat spiritualitas dirinya”, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang – memberi perhatian pada dunia dan eksistensi di luar dirinya – ia memperoleh pengetahuan dunia material yang secara kuantitas sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya – menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri – ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya.[10]
Dalam pandangan Nasr, manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu manusia modern dan manusia tradisional, yang terakhir ini disebutnya pula sebagai manusia suci, sebagaimana dijelaskannya dalam salah satu karyanya:
Konsep tentang manusia suci, pontifex, atau jembatan antara surga dan bumi, yang merupakan pandangan tradisional anthropos, terletak pada antipoda konsep manusia modern yang membayangkan manusia sebagai ciptaan Promethean di bumi, melawan surga dan berusaha menyalahgunakan peranan Tuhan bagi dirinya sendiri. Manusia suci, dalam pengertiannya di sini, tidak lain daripada manusia tradisional, hidup di dalam dunia yang mempunyai Asal maupun Pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak Asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berupaya untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.[11]
Dari penjelasannya ini, tampak pula bahwa Nasr berusaha menegaskan bahwa manusia dengan segala karakteristiknya tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri manusia yang sebenarnya dapat dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak mengetahui arti kearifan spiritual dalam kehidupannya.
Menurut Nasr, fungsi kesalehan manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari realitas dan dari mana manusia itu sesungguhnya berasal. Inilah sebabnya mengapa ajaran-ajaran tradisional selalu menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antara surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai fungsi-sungsi kosmik untuk menyadarkan bahwa tidak mungkin manusia menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup di bumi yang tidak 8 sekedar berhubungan dengan keduniaan semata, tetapi untuk merefleksikan kekuasaan Tuhan di dunia.[12] Nasr menulis:
Situasi manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi direfleksikan dalam seluruh keberadaan dan seluruh kemampuannya. Manusia adalah dirinya sendiri, keberadaan alamiah secara supra natural. Ketika dia berjalan-jalan di muka bumi, pada satu sisi dia muncul sebagai makhluk bumi; pada sisi yang lain, dia merupakan keberadaan surgawi yang turun ke keberadaan duniawi. Sebaliknya, memori, pembicaraan dan imajinasinya ikut serta seketika itu juga dari beberapa tatanan realitas. Sebagian besar dari inteligensinya merupakan kemampuan alamiah yang bersifat supra natural...[13]
Seyyed Hossein Nasr berusaha menjelaskan hakikat diri manusia melalui perspektif filsafat perennial – yang ia sebut sebagai filsafat tradisional – yang pembahasannya justru berbeda dengan perspektif modern yang didasarkan kepada sains.[14] Nasr berkeyakinan bahwa penjelasan tuntas tentang hakikat manusia dapat ditemukan secara jelas dalam teks-teks tradisional dan keagamaan.
Itulah pengertian manusia menurut Sayyed Husein Nasr. Jika ada kekurangan mohon ditambah melalui komentar.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 27.
[2] Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanusius, 2004), h. 58.
[3] Rifaat Syauqi Nawawi, dkk., Metodologi Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 175.
[4] Sujawa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001), h. 22-23.
[5] Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Ircisod, 2005), h. 115.
[6] Hadimulyo, “Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Shari’ati”, dalam M. Dawam Rahardjo, (Penyunting), Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987), Cet. 2, h. 175.
[7] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), h. 286.
[8] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 7.
[9] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 1.
[10] Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 2.
[11] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 185.
[12] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 183-184.
[13] Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 184.
[14] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, h. 5. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Sacred , terj. Suharsono, et. al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 195.