Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TOKOH-TOKOH YANG MEMPENGARUHI SEYYED HOSEIN NASR

Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. 

Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah. Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perenial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.[1]

Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and the Perennial Philoshopy sebagai ungkapan yang paling mengagumkan dan paling lengkap dari philosophia perennis yang ada di dunia sekarang. Nasr sangat mengagumi Schuon, sehingga ia memberikan gelar padanya sebagai My Master. 
Tokoh yang mempengaruhi Seyyed Hosein Nasr
Seyyed Hosein Nasr
Selain itu pemikiran tradisionalis Nasr dipengaruhi oleh konsep tradisional dari A.K. Coomaraswamy khususnya dalam studinya mengenai seni taradisional. Kerangka pikir dari Coomaraswamy mengilhami pemahaman Nasr tentang tradisionalisme khususnya mengenai studinya atas kesenian Islam. Khusus mengenai seni ini ia juga banyak terpengaruh oleh pandangan Titus Burckhardt yang secara spesifik memberikan perhatian pada seni Islam. Keduanya dapat dikatakan sebagai rujukan utama Nasr dalam pembahasan masalah seni dan spiritualitas dalam Islam.[2]

Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon yang banyak memberikan pijakan kritis atas filsafat modern guna membersihkannya dan memberikan bagi kehadiran metafisika yang sejati. Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial. 

Allamah Thabathaba’i, Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt dan F. Schoun. Salahsatu gagasan penting mereka adalah apa yang disebut filsafat perenial, yaitu pemikiran kefilsafatan yang menyangkut metafisika universal. Perenialisme nantinya juga dikembangkan oleh Nasr dan bahkan menjadi landasan metodologi berpikirnya, terutama dalam bidang studi agama-agama.[3]

Thabathaba’i adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati masyarakat syi’ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik al-alammah (yang sangat pandai). Menurut Nasr di antara ulama-ulama tradisional Syi’ah, Thabathaba’i adalah orang yang memenuhi syarat menulis buku yang berjudul Shi’a (edisi Indonesia: Islam Syi’ah).[4] Ia telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang memberikan konstribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, irfan, tafsir dan lainnya.[5]

Massignon adalah seorang pemikir yang menaruh simpati pada Islam dan mempunyai pengetahuan universal tentang Islam, terutama sufisme. Ia pernah menulis desertasinya tentang tasawuf al-hallaj. Disamping menaruh perhatian pada sufisme, ia juga sarjana kristen pertama yang merintis dialog antar agama, terutama titik temu antara Islam dan Katolik. Kontaknya dengan Massignon terjadi sejak Nasr menjadi mahasiswa dan berlangsung terus hingga beberapa bulan sebelum kematian Massignon di awal 1962.[6]

Pada akhir 1965 Nasr bersama dengan Murtadha Muthahhari dan Ali Syriati serta beberapa tokoh lainnya mendirikan lembaga Hussainiyah Irsyad,yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam untuk generasi muda berdasarkan persepektif Syi’ah, tetapi kemudian ia bersama dengan Murtadha keluar dari lembaga tersebut karena berbeda pendapat dengan Ali Syariati yang semula mengkritik ulama tradisional serta menggunakan lembaga ini untuk kepentingan politiknya. Pada tahun 1973 lembaga ini di tutup oleh Shah Reza Pahlevi. Nasr sangat mengecam Ali Syariati ysng dipandangnya keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualitas.[7]

Bagi Nasr, Syari’ati adalah seorang modernis muslim pertama yang menciptakan semacam “liberation theologi” di dunia Islam, karena pengaruh westernisasi dan marxisme. Dengan cara ini Syari’ati menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Bagi syari’ati, “Shi’ism was religion for protest”. Dalam penilaian Nasr gagasan Syari’ati sangat berbahaya. 

Antara Nasr dengan kelompok Syari’ati terdapat perbedaan pendekatan dalam upaya memperbaiki nasib Iran untuk masa depan. Nasr mendekatinya dari sudut perkembangan rohaniah, karena pengaruh tasawuf, sehingga tokoh yang betapapun briliannya ini, tidak pernah terlibat dalam aksi kekerasan atau melibatkan dari dalam gerakan massa untuk melakukan perubahan historis dengan gagasannya secara revolusioner.[8] Sementara Syari’ati dan kelompok revolusioner lainnya seperti Ayatullah Khomeini melihatnya dari kaca mata analisis sosiologis, sehingga mereka cendrung memilih jalur politik dan melibatkan diri secara aktif dan bahkan memimpin dalam sikap setiap aksi yang muncul. Gerakan revolusi yang diarsiteki oleh Khomeini dan Syari’ati ini, pada akhirnya berhasil menumbangkan rezim Shah, dan mendirikan Republik Islam Iran (RII) tahun 1979, hingga sekarang. 

Maka menjelang revolusi meletus tahun 1979, Nasr hijrah ke Amerika Serikat. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Iran, dan menetap di Amerika. Ketika Fazlur Rahman dan Islamil Faruqi masih hidup, Nasr dan kedua tokoh itu disebut disebut sebagai tiga intelektual muslim terkemuka di Amerika Serikat sejak dekade 70-an. Harvard Seminary Foundation pernah mengadakan konfrensi tahun 1988 untuk membahas tentang kaum muslim di AS. Untuk aspek intelektualnya, ketiga tokoh ini yang dibahas. Selain mengajar Nasr juga aktif memberikan ceramah dan kuliah di berbagai Negara, di samping menulis buku dan artikel. 


[1] Seyyed Hossein Nasr, Kata Pengantar dalam Islam dan Filsafat Perenial terj. Rahman Astuti (Bandung Mizan,1995), h.17-20 
[2] Ahmad Norma Permata Tradisi dalam Perenialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 161-166. 
[3] Waryono Abdul Ghafur, “Seyyed Hossein Nasr: Neo Sufisme Sebagai Alternatif Modernism. 
[4] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan h.40 
[5] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan h.10 
[6] Nasr, Traditional Islam in the Modern World (New York: KPI, 1987), terjemah oleh Lukman Hakim, Islam Tradisional Ditengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Pustaka, 1994), 253-272. 
[7] Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, 315. 
[8] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan, h. 47.
Hairus Saleh
Hairus Saleh Akademisi jadi blogger. Blogger menjadi tempat untuk tuangkan berbagai gagasan dan pemikiran.
close