Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGERTIAN KARMA DALAM FALSAFAH BUDDHA

(Belajar Falsafah Buddhisme tentang Karma Berdasarkan Buku the Way to Freedom Karya Dalai Lama--Bagian VII)

Pada bagian ketujuh buku the Way to Freedom, Dalai Lama berbicara tentang karma. Di sini, "karma" berarti "perbuatan". Hukum karma berarti hukum perbuatan. Hukum itu berbunyi: perbuatan negatif selalu menghasilkan penderitaan, sementara perbuatan positif senantiasa mendatangkan kebahagiaan.

Menurut Dalai Lama, dalam arus batin (vasana), jejak karma senantiasa meningkat dari waktu ke waktu. Ini bisa diibaratkan benih kecil yang dapat menghasilkan buah yang besar di lahan yang subur. Benih kebaikan yang kecil dapat tumbuh dalam batin menjadi kebahagiaan yang besar. Benih keburukan yang kecil juga bisa tumbuh dalam batin menjadi penderitaan yang besar.

Pengertian Karma
Sebagaimana dijelaskan oleh Dalai Lama, baik atau buruknya suatu perbuatan (karma) ditentukan oleh niat orang yang melakukanya. Jika niatnya baik, perbuatannya menjadi baik. Jika niatnya buruk, perbuatannya menjadi buruk. Dengan kata lain, karma kita tergantung citta kita. Jika batin (citta) kita damai dan terkendali, semua perbuatan kita akan jadi baik. Sebaliknya, jika batin kita tidak tenang dan dipengaruhi hawa nafsu (raga) dan kebencian (dvesha) secara terus-menerus, kita akan mengumpulkan karma buruk, meskipun perbuatan itu kelihatannya positif.

Menurut Dalai Lama, karma atau perbuatan dilakukan melalui tiga bidang: tubuh, ucapan dan pikiran. Dari ketiga bidang itu, kita bisa melakukan sepuluh perbuatan positif serta sepuluh perbuatan negatif. Dari kesepuluh perbuatan itu, tiga bersifat fisik, empat bersifat verbal (kata-kata) dan tiga sisanya bersifat mental. Dalam buku the Way to Freedom, Dalai Lama merinci kesepuluh jenis perbuatan yang buruk (dasa akusala karma).

Dasa akusala karma dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, karma buruk yang bersifat fisik: membunuh, mencuri dan perilaku seks yang keliru. Kedua, karma buruk yang bersifat verbal: berbohong, kata-kata yang memecah-belah, kata-kata kasar, dan gosip yang tidak berguna. Ketiga, karma buruk yang bersifat mental: iri hati, dengki, dan keliru-tahu.

Tentu, dengan mengetahui sepuluh karma negatif tersebut, kita juga akan mengetahui sepuluh karma positif. Ketika kita melakukan hal yang sebaliknya dari kesepuluh karma negatif itu, itu artinya kita telah melakukan karma positif. Sebagaimana karma negatif, karma positif juga meliputi tiga bidang, yaitu: karma positif yang bersifat fisik, karma positif yang bersifat verbal (kata-kata) dan karma positif yang bersifat mental.

Dalam pandangan Dalai Lama, sebagai benih, semua karma baik dan karma buruk bisa tumbuh dalam batin kita. Karma-karma itu kadang kita petik hasilnya saat ini juga. Tapi, kadang karma-karma itu juga baru matang pada kehidupan yang lain dan hasilnya tidak kita petik dalam kehidupan sekarang. Oleh karena itu, keadaan baik yang menguntungkan atau keadaan buruk yang tidak menguntungkan dalam kehidupan kita saat ini bisa jadi merupakan buah yang dihasilkan dari benih yang ditanam pada kehidupan yang lampau.

Apakah semua benih karma tersebut pasti berbuah? Apakah karma baik pasti memunculkan kebahagiaan serta karma buruk pasti menghasilkan penderitaan? Tidak adakah suatu hal yang membuat benih-benih karma itu tidak menghasilkan buah? Mungkinkah kita terhindar dari penderitaan setelah melakukan karma buruk? Apakah juga mungkin kita tidak mengalami kebahagiaan dari karma baik yang kita lakukan?

Menurut Dalai Lama, hukum karma pasti adanya. Tapi, kemarahan dapat membuat benih kebaikan gagal berbuah kebahagiaan. Semakin sering kita marah, semakin berkurang potensi karma baik itu untuk tumbuh dan berbuah kebahagiaan. Hal yang sama juga terjadi untuk benih keburukan. Sebagai benih, karma buruk bisa tidak jadi berbuah penderitaan jika benih-benih keburukan itu dimurnikan sebelum berbuah.

Lantas, bagaimana cara memurnikan benih-benih karma buruk itu agar tidak tumbuh dan tidak berbuah penderitaan? Dalai Lama mengemukakan empat daya (catur balam) yang dapat memurnikan diri kita dari kemungkinan berbuahnya benih karma buruk. Pertama, penyesalan yang sungguh-sungguh. Kedua, perapalan dan pembacaan Sutra, meditasi tentang sunyata, rapal mantra, membuat persembahan dan lain sebagainya. Ketiga, ikrar untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Keempat, meditasi dengan mengandalkan Buddha, Dharma, dan Sangha, serta mengembangkan keinginan untuk mencapai pencerahan demi semua makhluk.

Palmerah, 21 Maret 2019

Iqbal Hasanuddin
Hairus Saleh
Hairus Saleh Akademisi jadi blogger. Blogger menjadi tempat untuk tuangkan berbagai gagasan dan pemikiran.

Post a Comment for "PENGERTIAN KARMA DALAM FALSAFAH BUDDHA"

close