Memperkuat Karakter Islami Melalui Arisan: Amanah, Solidaritas, dan Kedisiplinan
oleh: Shofiatul Jannah
Arisan merupakan salah satu praktek sosial ekonomi yang masih
digemari dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia khususnya di kalangan
wanita. Arisan memiliki dampak positif dalam membentuk karakter individu
khususnya dalam masyarakat Muslim. Dalam Islam, arisan tidak hanya dipandang
sebagai praktik ekonomi, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat
nilai-nilai sosial dan moral yang diajarkan oleh Islam. Berikut nilai-nilai
positif yang terdapat dalam arisan:
Pertama: Arisan dapat mengokohkan nilai-nilai sosial di tengah-tengah
masyarakat seperti kepercayaan dan tanggungjawab, yang menjadi salah satu
cermin moral dan etika dalam bermasyarakat. Istilah ini disebut dengan amanah.
Dengan demikian, anggota arisan harus memiliki komitmen untuk membayar arisan tepat
waktu. Hal ini mengajarkan kepada para anggota arisan tentang pentingnya
kepercayaan dan tanggungjawab dalam menjaga komitmen mereka. Islam menyebutkan
dengan jelas tentang kewajiban menjalankan amanah baik dalam al-Quran
dan hadis. Allah berfirman dalam Surah al-Anfal ayat 27:
يا ايها الذين امنوا
لا تخونواالله والرسول وتخونوا أمنتكم وانتم تعلمون
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
sebuah amanah tidak boleh disia-siakan begitu saja, amanah harus
dijaga dan dipelihara dengan sebaik mungkin. Qurash Shihab menjelaskan dalam tafsir
al-Misbah bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban untuk bersyukur kepada Allah
Swt atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Salah satu nikmat tersebut adalah
mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dan salah satu bentuk untuk
mensyukurinya adalah tidak menghianati kepercayaan tersebut. Dalam hal ini,
Shihab juga menjelaskan bahwa semua amanah baik dari Muslim dan
non-Muslim tetap harus dijaga tanpa pengecualian. Amanah ini menjadi
predikat keislaman seorang Mukmin, karena ketika ia mengkhianati sebuah kepercayaan,
maka ia akan masuk pada golongan orang-orang munafik. Sebagaimana Sabda
Rasulullah Saw:
حَدَّثنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
نُمَيْرٍ ح و حَدَّثنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثنَا أَبِي حَدَّثنَا الْأَعْمَشُ ح و حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثنَا وَكِيعٌ حَدَّثنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَ بْدِ
اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ
مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ
خَلَّةٌ مِنْ نِفَ اقٍ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا
عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ غَيْرَ أَنَّ فِي حَدِيثِ
سُفْيَانَ وَإِنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ.
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair. (dalam riwayat lain disebutkan)
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami
Bapakku telah menceritakan kepada kami al-A'masy. (dalam riwayat lain
disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah
menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Sufyan dari
al-A'masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah bin Amru dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada empat
perkara, barangsiapa yang empat perkara tersebut ada pada dirinya maka dia
menjadi orang munafik sejati, dan apabila salah satu sifat dari empat perkara
tersebut ada pada dirinya, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari
kemunafikan hingga dia meninggalkannya: jika berbicara selalu bohong, jika
melakukan perjanjian melanggar, jika berjanji selalu ingkar, dan jika
berselisih licik." Hanya saja dalam hadits Sufyan, 'Apabila dalam dirinya
terdapat salah satu sifat tersebut maka dia memiliki salah satu sifat
kemunafikan'”.
Berdasarkan
hadis tersebut, Syauqi Nawawi dalam Kepribadian Qur’ani menjelaskan
bahwa ungkapan “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu, dan
jangan kamu khianat
kepada orang yang mengkhianatimu” dalam hadis diatas
menunjukkan larangan berbuat khianat,
serta larangan untuk tidak menghianati orang yang telah berkhianat supaya hidup menjadi tentram dan damai. Berkenaan dengan hal ini, sesungguhnya manusia telah diberikan akal yang berfungsi untuk mempertimbangkan perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, amanah harus dipelihara dan harus ditegakkan. Dalam konteks arisan ini, seseorang bisa belajar dan menjalankan perintah Allah Swt untuk menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Karena pada hakikatnya, semua kedudukan atau jabatan serta apapun di dunia ini berasal dari Allah yang diberikan kepada manusia.
Kedua: arisan juga dapat menumbuhkan dan memperkuat kerjasama dan nilai-nilai solidaritas dalam Islam. Semua anggota arisan harus saling mendukung satu sama lain. Misalkan, jika salah satu dari anggota arisan mengalami kesulitan keuangan, maka anggota yang lain harus bersedia memberikan bantuan kepadanya. Hal ini menunjukkan kerjasama dan solidaritas dalam menjaga kesejahteraan bersama. Solidaritas ini sebagai bentuk kerjasama yang meliputi aktivitas tolong menolong, gotong royong dan musyawarah. Dimana aktivitas-aktivitas tersebut dibungkus dengan rasa kepatuhan yang didasarkan kepada nilai-nilai moral yang dapat mempersatukan sehingga membentuk nilai-nilai positif seperti persaudaraan, kekeluargaan serta kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Allah Swt berfirman dalam surah al-Maidah ayat 2:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.
Artinya: “Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya”.
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat
tersebut menunjukkan perintah terhadap seluruh umat manusia untuk menjunjung
solidaritas sosial seperti saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan
sesuai petunjuk agama Islam. Solidaritas sosial ini dapat memperkuat
persaudaraan, kedamaaian dan menimbulkan ketentraman di tengah-tengah
masyarakat. Yusuf al-Qardhawi
dalam Malamih al-Mujtami’ al-Muslim menjelaskan salah satu jenis
solidaritas dalam Islam adalah “solidaritas kesopanan”. Menurutnya, manusia
dituntut untuk saling menghormati, menunjukkan kasih dan simpati satu sama lain.
Prinsip solidaritas kesopanan ini mendorong terciptanya masyarakat yang
harmonis dan saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian,
solidaritas ini menjadi pondasi bagi anggota arisan dalam membangun hubungan
personal dan sosial dalam Islam, membentuk pondasi yang kokoh bagi masyarakat
yang adil dan harmonis.
Ketiga: arisan dapat menguatkan nilai-nilai disiplin dan
pengendalian diri dalam Islam. Anggota arisan harus mampu mengendalikan
pengeluaran supaya dapat memenuhi kewajiban dalam arisan. Hal ini mengajarkan
kepada para anggota arisan pentingnya disiplin dan pengendalian diri dalam
mengelolah keuangan mereka. Dalam Islam, pengendalian diri disebut dnegan mujahadah
an-nafs yang berarti usaha sungguh-sungguh. Maka pengendalian diri bermakna
mengerahkan segenap kemampuan dan usaha untuk memerangi sesuatu. Dengan kata
lain, menjauhi nafsu dari berbagai syahwat dan keinginan. Seseorang yang
bersungguh-sungguh memerangi nafsunya dan mampu berbuat baik, maka Allah akan
senantiasa memberikan petunjukNya. Sebagaimana firman Allah dalam surah
al-Ankabut ayat 69:
والذين جاهدوا فينا لنهد ينهم سبلنا وان هللا لمع
المحسنينه
Artinya: “Orang yang bersungguh-sungguh untuk meraih rida kami sungguh akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik”.
Berkenaan dengan ayat ini, setiap individu penting untuk melakukan pengendalian diri sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib bahwa pengendalian diri bisa dilakukan oleh seseorang dengan cara pendisiplinan diri yang kuat karena pengendalian diri merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah, sehingga diperlukan tahapan seperti selalu mengingat Allah Swt, melakukan ibadah dengan baik, melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan selalu melakukan kebaikan. Didin Muhafidin dalam Dimensi Kebijakan Publik menyebutkan bahwa kedisiplinan ini berkaitan dengan proses pengembangan karakter dan pemikiran dalam meningkatkan kemampuan dan menumbuhkan kepatuhan terhadap aturan dan nilai yang berkembang serta penerapan pengendalian diri.
Disiplin ini mengarah pada kondisi yang sistematis dalam penetapan aturan dan berlaku. Singkatnya, disiplin berkaitan dengan wujud nyata dalam menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Disiplin harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan dengan menyesuaikannya dengan aturan-aturan yang berlaku misalkan dalam arisan. Disiplin ini menunjukan sebuah sikap yang dimiliki oleh seseorang untuk taat dan bisa mengendalikan diri, agar tetap mematuhi aturan yang telah dibuat dan disepakati.
Dengan
demikian, arisan memiliki nilai-nilai positif yang dapat membentuk karakter
individu dan masyarakat Muslim. Nilai-nilai tersebut mengajarkan kepada para
anggota arisan tentang pentingnya nilai-nilai sosial seperti solidaritas,
kejujuran, kedisiplinan dan pengendalian diri untuk menjaga kesejahteraan
bersama. Oleh karenanya, arisan sebagai bagian integral dari budaya Indonesia
mengandung nilai-nilai karakter yang dianjurkan untuk ditanamkan dalam
kehidupan masyarakat Muslim.
Post a Comment for "Memperkuat Karakter Islami Melalui Arisan: Amanah, Solidaritas, dan Kedisiplinan"