Memanusiakan Manusia: Studi Pemikiran Murtadha Muthahhari
Manusia sempurna yang ditawarkan Murtadha Muthahhari merupakan gagasan hasil kajiannya tentang filsafat. Ia merupakan filosof yang hebat yang ikut dalam perjuangan kemerdekaan Iran.
Konsep manusia sempurna memang menjadi pembahasan yang tiada habisnya dan tetap selalu menarik untuk dibahas dalam ranah akademis. Setiap lahir konsep baru tentang hakikat manusia, setiap itu pula muncul kritik tajam terhadapnya. Perdebatan itu terus terjadi sampai saat ini. Konsep tentang manusia seutuhnya terus dikaji, karena konsep ini memunyai pengaruh besar terhadap cara hidup manusia. Konsep inilah yang mampu memberikan gambaran kepada manusia bahwa manusia sempurna harus sebagaimana yang dituangkan dalam konsep manusia sempurna.
Dalam Islam, mengetahui konsep manusia sempurna merupakan hal yang sangat penting, karena konsep itulah yang akan menjadi model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita pun dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran Islam.[1]
manusia sempurna menurut murtadha muthahhari
Murtadha Muthahhari
Pada umumnya, setiap mazhab memunyai ukuran tersendiri mengenai manusia sempurna. Mazhab-mazhab tersebut tampaknya tidak jarang memandang manusia sebagai makhluk yang timpang. Manusia sempurna menurut para madzhab dipandang sebagai manusia yang hanya memiliki keunggulan satu pihak saja, baik intuisi bagi sufisme, indera bagi empirisme maupun akalnya bagi rasionalisme. Sehingga pemikiran tersebut juga melahirkan manusia timpang sesuai dengan konsepnya.
Dalam dunia tasawwuf, manusia sempurna menjadi pembahasan yang cukup menarik. Sebagaimana dijelaskan Ibn Arabi dalam buku tulisan Dr. Yunasril Ali, bahwa manusia merupakan manifestasi Tuhan. Sebagai citra Tuhan, manusia merupakan wujud yang memunyai satu realitas. Realitas tunggal yang hanya benar-benar ada ialah Allah. Sedangkan alam hanyalah sebagai wadah tajalli dari nama-nama dan sifatsifatnya.[2] Dengan demikian, manusia sempurna merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalliNya pada jagat raya yang oleh Ibn Arabi disebut mikrokosmos.[3] Dalam kata lain, seluruh yang di alam terkumpul dalam diri manusia sempurna.[4]
Pemikiran ini dikiritik oleh Murtadhâ Muthahharî. Menurutnya konsep tersebut terlalu mengedepankan satu nilai kemanusiaan saja, sehingga berkonsekuensi menghilangkan nilai-nilai kemanusia yang lain. Pemikiran yang demikian tidak bisa disebut manusia sempurna, tetapi lebih pada manusia timpang dan berlebih-lebihan. Dalam bukunya ia mengatakan, “Malaikat adalah wujud yang diciptakan dari akal murni. Artinya, pada diri malaikat sama sekali tidak terdapat unsur tanah, materi, hawa nafsu, syahwat, amarah dan lain sebagainya. Demikian pula dengan hewan yang seluruh substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insan adalah maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat dan apa yang ada pada hewan, suatu makhluk mulki-malakut.”[5]
Dalam kutipan di atas, Murtadhâ ingin mengungkapkan bahwa manusia sempurna itu berbeda dengan malaikat sempurna ataupun hewan sempurna. Untuk menjadi sempurna, manusia tidak kemudian melupakan kehewanannya untuk mencapai derajat yang sama seperti malaikat. Tidak pula meninggalkan kemalaikatannya untuk kemudian menjadi hewan. Manusia sempurna merupakan manusia yang menggunakan segala potensinya secara stabil dan seimbang.
Konsep keseimbangan seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang ditawarkan Murtadha menuntut untuk tidak hanya mengunggulkan satu atau sebagian potensi yang sudah ditanamkan oleh Allah dalam diri manusia, karena seseorang yang mengutamakan satu potensi saja akan mengakibatkannya berlebih-lebihan yang oleh Murtadhâ Muthahharî disebut dengan ifrath. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan mengesampingkan intelek bukan insan kamil, tetapi manusia cacat. Demikian juga dengan manusia yang hanya mengedepankan intelek dengan mengesampingkan cinta.
Meskipun ia mengkritik sufi mengenai cinta, failasuf mengenai inteleknya dan paham lain mengenai ketimpangannya, tetapi Murtadhâ Muthahharî tidak menolak pandangan mereka secara keseluruhan. Ia hanya mengkritik ekstrimitas di dalamnya. Karena manusia dapat dianggap sempurna apabila ia mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi kemanusiaannya.[6]
Apa yang dirumuskan Murtadhâ dalam usaha memaknai kembali manusia sempurna merupakan tawaran solusi untuk menjawab tantangan dan tuntutan pembangunan masyarakat modern. Secara konseptual, teori yang dikembangkan Murtadha dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengoptimalkan intelektualnya demi kebutuhan dan kemajuan bangsa tanpa harus memarjinalkan potensi lainnya, sehingga kemajuan yang dihasilkan tidak menimbulkan keburukan terhadap kehidupan manusia untuk hari-hari berikutnya.
________________________________________
[1] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Sempurna, terj. M. Mashem, (Jakarta: Lentera, cet. ii, 1994), h. 1
[2] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, cet. I, 1997), h. 50
[3] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, h. 55
[4] A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Ciputat: Gaya Media Pratama, cet. ii, 1995), h. 120
[5] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya, terj. Abdillah Hamid Ba’abud, (Jakarta: Sadra Press, cet i, 2012), h. 27
[6] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya¸h. 28
Konsep manusia sempurna memang menjadi pembahasan yang tiada habisnya dan tetap selalu menarik untuk dibahas dalam ranah akademis. Setiap lahir konsep baru tentang hakikat manusia, setiap itu pula muncul kritik tajam terhadapnya. Perdebatan itu terus terjadi sampai saat ini. Konsep tentang manusia seutuhnya terus dikaji, karena konsep ini memunyai pengaruh besar terhadap cara hidup manusia. Konsep inilah yang mampu memberikan gambaran kepada manusia bahwa manusia sempurna harus sebagaimana yang dituangkan dalam konsep manusia sempurna.
Dalam Islam, mengetahui konsep manusia sempurna merupakan hal yang sangat penting, karena konsep itulah yang akan menjadi model dan contoh, yang kalau kita berusaha meneladaninya, kita pun dapat mencapai kesempurnaan manusiawi sesuai ajaran Islam.[1]
manusia sempurna menurut murtadha muthahhari
Murtadha Muthahhari
Pada umumnya, setiap mazhab memunyai ukuran tersendiri mengenai manusia sempurna. Mazhab-mazhab tersebut tampaknya tidak jarang memandang manusia sebagai makhluk yang timpang. Manusia sempurna menurut para madzhab dipandang sebagai manusia yang hanya memiliki keunggulan satu pihak saja, baik intuisi bagi sufisme, indera bagi empirisme maupun akalnya bagi rasionalisme. Sehingga pemikiran tersebut juga melahirkan manusia timpang sesuai dengan konsepnya.
Dalam dunia tasawwuf, manusia sempurna menjadi pembahasan yang cukup menarik. Sebagaimana dijelaskan Ibn Arabi dalam buku tulisan Dr. Yunasril Ali, bahwa manusia merupakan manifestasi Tuhan. Sebagai citra Tuhan, manusia merupakan wujud yang memunyai satu realitas. Realitas tunggal yang hanya benar-benar ada ialah Allah. Sedangkan alam hanyalah sebagai wadah tajalli dari nama-nama dan sifatsifatnya.[2] Dengan demikian, manusia sempurna merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalliNya pada jagat raya yang oleh Ibn Arabi disebut mikrokosmos.[3] Dalam kata lain, seluruh yang di alam terkumpul dalam diri manusia sempurna.[4]
Pemikiran ini dikiritik oleh Murtadhâ Muthahharî. Menurutnya konsep tersebut terlalu mengedepankan satu nilai kemanusiaan saja, sehingga berkonsekuensi menghilangkan nilai-nilai kemanusia yang lain. Pemikiran yang demikian tidak bisa disebut manusia sempurna, tetapi lebih pada manusia timpang dan berlebih-lebihan. Dalam bukunya ia mengatakan, “Malaikat adalah wujud yang diciptakan dari akal murni. Artinya, pada diri malaikat sama sekali tidak terdapat unsur tanah, materi, hawa nafsu, syahwat, amarah dan lain sebagainya. Demikian pula dengan hewan yang seluruh substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insan adalah maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat dan apa yang ada pada hewan, suatu makhluk mulki-malakut.”[5]
Dalam kutipan di atas, Murtadhâ ingin mengungkapkan bahwa manusia sempurna itu berbeda dengan malaikat sempurna ataupun hewan sempurna. Untuk menjadi sempurna, manusia tidak kemudian melupakan kehewanannya untuk mencapai derajat yang sama seperti malaikat. Tidak pula meninggalkan kemalaikatannya untuk kemudian menjadi hewan. Manusia sempurna merupakan manusia yang menggunakan segala potensinya secara stabil dan seimbang.
Konsep keseimbangan seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang ditawarkan Murtadha menuntut untuk tidak hanya mengunggulkan satu atau sebagian potensi yang sudah ditanamkan oleh Allah dalam diri manusia, karena seseorang yang mengutamakan satu potensi saja akan mengakibatkannya berlebih-lebihan yang oleh Murtadhâ Muthahharî disebut dengan ifrath. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan mengesampingkan intelek bukan insan kamil, tetapi manusia cacat. Demikian juga dengan manusia yang hanya mengedepankan intelek dengan mengesampingkan cinta.
Meskipun ia mengkritik sufi mengenai cinta, failasuf mengenai inteleknya dan paham lain mengenai ketimpangannya, tetapi Murtadhâ Muthahharî tidak menolak pandangan mereka secara keseluruhan. Ia hanya mengkritik ekstrimitas di dalamnya. Karena manusia dapat dianggap sempurna apabila ia mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi kemanusiaannya.[6]
Apa yang dirumuskan Murtadhâ dalam usaha memaknai kembali manusia sempurna merupakan tawaran solusi untuk menjawab tantangan dan tuntutan pembangunan masyarakat modern. Secara konseptual, teori yang dikembangkan Murtadha dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengoptimalkan intelektualnya demi kebutuhan dan kemajuan bangsa tanpa harus memarjinalkan potensi lainnya, sehingga kemajuan yang dihasilkan tidak menimbulkan keburukan terhadap kehidupan manusia untuk hari-hari berikutnya.
________________________________________
[1] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Sempurna, terj. M. Mashem, (Jakarta: Lentera, cet. ii, 1994), h. 1
[2] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, cet. I, 1997), h. 50
[3] Dr. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, h. 55
[4] A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Ciputat: Gaya Media Pratama, cet. ii, 1995), h. 120
[5] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya, terj. Abdillah Hamid Ba’abud, (Jakarta: Sadra Press, cet i, 2012), h. 27
[6] Murtadhâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya¸h. 28
Post a Comment for "Memanusiakan Manusia: Studi Pemikiran Murtadha Muthahhari"