Rasionalisme
1. Pendahuluan
Berbicara mengenai filsafat, sebenarnya telah dimulai sejak zaman renaissans dan reformasi, kemudian dilanjutkan secara menyeluruh pada zaman modern (pencerahan). Pada zaman pencerahan, sangat menjunjung tinggi akal budi, kebebasan, dan kemampuan individu untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi serta ada kecenderungan yang kuat untuk mengesampingkan peranan tradisi, dan segala macam otoritas “dari luar” (Gereja, kaum bangsawan, dan Raja).
Pada zaman modern terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan, yaitu Rasionalisme dan Empirisme. Pengertian dari Rasionalisme itu sendiri adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi atau rasio, bukan pengalaman. Dan pengalaman hanya dapat dipakai untuk menegasskan pengetahuan yang telah didapatkan dari rasio. Rasio sendiri tidak membutuhkan mengalaman; ia dapat menemukan kebenaran-kebenaran pengetahuan dari dirinya sendiri berdasarkan asas-asas yang pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Contohnya adalah matematika. Yang menganut aliran ini diantaranya adalah Prancis dan Jerman.
Bertentangan dengan rasionalisme, aliran Empirisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengalaman (empiria, bahasa Yunani) merupakan sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriah ataupun pengalaman batiniah. Rasio bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman untuk dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Contohnya adalah ilmu pengetahuan alam.
Dan yang akan dikupas pada makalah ini adalah pembahasan tentang filsafat modern, rasionalisme.
2. Para Filsuf Rasionalisme
A. Descartes “Cogito, Ergo Sum”
Rene` Descrates (nama latinnya: renatus cartesisus, 1596-1650) dijuluki bapak filsafat modern. Filsafatnya berawal dari satu pertanyaan: apakah ada metode yang pasti sebagai dasar untuk melakukan refleksi filosofis?.
Untuk menjawab pertanyaan ini,dia melakukan apa yang kemudian dinamakan sebagai sikap keragu-raguan radikal. Ia menganggap bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah tipuan, dan tidak ingin menerima apapun sebagai sesuatu yang benar, jika kita tidak memahaminya secara jelas dan terpisah.
Namun, jika segala sesuatu diragukan keberadaannya, ada satu hal yang sama sekali tidak bisa diragukan lagi sehingga harus diterima secara mutlak, yakni kenyataan bahwa Aku yang sedang meragukan segala sesuatu ini ada! Dengan demikian, menurut Descartes, pemikiran atau kesadaran tidak bisa dipisahkan dari diri seseorang. Hakikat manusia adalah pemikiran (ras cogitans), dengan kata lain ia mengatakan “Aku Berfikir Maka Aku Ada”[1].
Berkat kesadaran diri yang diperoleh dari refleksi atas keraguan radikal, Descartes ingin mempelajari lebih lanjut hal-hal yang dapat ditangkapnya dengan kepastian intuitif yang sama (yaitu dengan jelas dan terpisah). Yang kemudian di interpretasikan dalam 2 langkah;
Langkah pertama,arah “ke dalam”. Menurutnya, segala sesuatu dari luar tidak bisa dipercaya, jadi manusia perlu mencari kebenaran dalam dirinya sendiri,dengan menggunakan criteria jelas dan terpisah. Hasilnya adalah bahwa dalam diri manusia ada 3 hal yang disebut “ide-ide bawaan” (ideae innatae) antara lain;
Ø Ide pemikiran (cogitatio)
Ø Ide Allah (dues)
Ø Ide keluasaan (extentio)
Langkah kedua, arah “ke luar”. Dari adanya kesadaran diri (cogito), Descartes berusaha memahami realitas alam dunia. Menurutnya, selain (1) Allah, masih ada 2 substansi lain, yakni (2) jiwa (pemikiran) dan (3)materi atau keluasan. Proses pengetahuan diawali dari “Aku” melalui Allah menuju dunia. Dari sisi objek materialnya (dunia), Allah adalah yang pertama, segala sesuatu berdasar kepada-Nya. Namun, dari sudut proses pengetahuan, kesadaran manusia lah yang pertama.
Adapun tentang 2 substansi ditetapkan dalam ajarannya tentang manusia. Antara keduanya ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak bergantung. Jiwa-pemikiran tidak memiliki keluasan spasial, sedangkan tubuh-keluasan tidak memiliki kemampuan berfikir.
B. Spinoza: “Deus Sive Natura”
Lahir tahun 1632 dan meninggal dunia tahun 1677. Nama aslinya “Baruch Spinoza”. Setelah ia mengucilkan diri dari agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi “Benedictus de Spinoza”. Hidupnya dipinggiran kota Amsterdam.
Ajaran Tentang Substansi Tunggal: Allah atau Alam (Dues Sive Natura)
Spinoza mendefinisikan substansi sebagai “sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri. Artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya”. Sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal. Dan yang memenuhi semua definisi ini hanyalah Allah.
Selanjutnya, Spinoza mengajarkan bahwa Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari Allah. Jadi, semua bentuk pluralitas alam, baik yang bersifat jasmaniah ataupun rohaniah bukanlah hal-hal yang berdiri sendiri melainkan keberadaannya mutlak bergantung kepada Allah.
Ajaran Tentang Etika
Spinoza menyusun etikanya dengan mengikuti “prinsip ilmu ukur” (ordine geometrico) atau dengan kata lain, ia mengawalinya dengan menetapkan suatu dalil umum, dan selanjutnya menarik konsekwensi logis lainnya secara deduktif. Menurutnya, dalil umum yang bisa ditemukan dari semua pengada adalah “usaha untuk mempertahankan diri” (conatus): “setiap makhluk berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan keberadaannya” ( conatus seseconservandi). Kebahagiaan akan terwujud jika kita tidak merasa sedih tetapi nikmat.
Selanjutnya, Spinoza menyatakan bahwa pemahaman paling tinggi yang bisa dicapai manusia adalah mengenal Allah. Allah adalaah keseluruhan realitas. Semakin kita mengerti Allah, kita semakin mencintai-Nya. Cinta yang didasarkan pada pemahaman intelektual tentang Allah (amor Dei intellectualis) adalah puncak etika dan kebahagiaan manusia. Sesungguhnya dalam diri Allah kita bisa memandang segala sesuatu yang ada di alam smesta ini secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi bagian-bagian yang saling terpisahkan, entah berdasarkan ruang atau waktu. Dan bagi spinoza, Allah adalah alam dan alam adalah Allah.
C. Leibniz: “Monade-Monade Adalah Atom-Atom Sejati Dari Alam”
Nama aslinya adalah Gottfride Wilhelm Leibniz (1646-1716) di Leipzing, Jerman. Ayahnya seorang profesor filsafat moral. Leibniz mempelajari ilmu hukum, filsafat, dan matematika. Pada usia 17 tahun ia menulis “Tentang Prinsip Individu”. Friedrich der Grosse (Fredrik Agung, 1712-1786), Raja Prussia, menyebut Leibniz sebagai eine Akademie fur sich (satu perguruan tinggi untuk dirinya sendiri). Liebniz tidak sempat mensistematisasikan filsafatnya dan berkat Christian von Wollf (1679-1716), filsafat Leibniz menjadi satu system. Rasionalisme ala Liebniz-Wollf menjadi aliran yang dominan di semua universitas jerman pada saat itu sampai kant muncul di penghujung masa modern. Dan beliau wafat pada tahun 1716.
Madzhab Monadologi
Liebniz mengasumsikan adanya substansi-substansi yang tak terbatas jumlahnya yang dianggap sebagai unsur-unsur utama dalam susunan alam yang dia sebut dengan monad (bagian-bagian yang tidak terpisahkan)-nya.
Karakteristik monad atau atom spiritual adalah:
1. Monad adalah suatu eksistensi hidup atau atom hidup yang seluruhnya merupakan kekuatan aktif yang selalu cenderung bekerja dan bergerak
2. Ia tidak berbentuk, tidak bersekala dan tidak terbagi
3. Ia tidak terbentuk dari apapun dan tidak musnah sendiri, tapi mestia ada yang menciptakannya
4. Dari monad, bentuk-bentuk material terbangun
Sesuai dengan tingkat pengetahuannya, monad terbagi empat macam:
1. Monad-monad yang hanya mempunyai pengetahuan dan kecenderungan dalam bentuk yang paling sederhana
2. Monad-monad hewani
3. Monad manusiawi
4. Diantara manusia dan Tuhan – monad dari segala monad
Teori pengetahuan
Leibniz menyelaraskan antara pandangan Descartes dan John Lock. Ia menggagas konsep fitrah (natural, alamiah), tapi ia menganggap ide-ide dan prinsip-prinsip umum sebagai kesiapan-kesiapan yang tersembunyi dalam jiwa yang tidak kita rasakan. Ia membutuhkan stimulus-stimulus melalui indera, agar dapat beralih pada tingkat perasaan.
Pengetahuan manusia mengenai alam semesta sesungguhnya telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan (monade jenis pertama).
3. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwasannya para filsuf rasionalisme sepakat bahwa rasio manusia mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang merupakan substansi dari yang ada.
Hanya saja, dalam menentukan apa saja yang merupakan substansi tersebut terdapatan perbedaan. Descartes mengatakan bahwa substansi yang ada terdiri dari tiga, diantaranya yaitu: Tuhan, jiwa, dan materi. Sedangkan menurut Spinoza substansi yang ada hanya ada satu substansi yaitu Tuhan atau Alam, sedangkan yang lainnya yang disampaikan descrates hanyalah atribut Tuhan saja yang merupakan sebagian dari sifat-sifat Tuhan.
Daftar Pustaka
Petrus, Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Yogyakarta; Kanisius, 2004
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2009
Farid, Fu’ad Ismail dan Hamid, Abdul Mutawalli, Yogyakarta; IRCISOD, 2003
Post a Comment for "Rasionalisme"