Gagasan Pemikiran Nurcholish Madjid
Pendahuluan
Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merasuk di seluruh pelosok negara mengakibatkan modernisasi yang tak terbendung. Kaum agama mengalami xenophobia, semacam ketakutan terhadap dampak-dampak modernisasi. Ketakutan itu melahirkan pula suatu penulakan terhadap modernisasi. Hal ini jelas disebabkan karena ketidak siapan kaum agama dalam menghadapinya.
Memang terbukti, pada saat itu, awal modernisasi, pengaruh-pegaruh kaum agama termasuk agama itu sendiri sudah mulai memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pendekatan-pendekatan agama klasik sudah mulai ditinggalkan masyarakat, karena pengaruh rasionalisasi ilmu pengatahuan dan teknologi.
Hal ini lah yang mengharuskan kaum keagamaan harus merubah haluan pendekatan keagamaan dari pendekatan klasik yang kurang rasional menjadi pendekatan yang ilmiah, rasional tanpa harus lepas atau menyimpang dari nilai-nilai dasar keagamaan itu sendiri. Ini dilakukan untuk mengembalikan pengaruh agama di masyarakat.
Pengembalian keagamaan ini adalah langkah awal dalam mengukuhkan pondasi keagamaan seseorang yang merupakan dasar dalam menghadapi modernisasi. Dalam hal ini, kaum keagamaan tak perlu menulak modernisasi, tetapi harus menerimanya tanpa harus menghilangkan nilai agama itu sendiri. Di dalam Islam secara substansial maupun praktis (Islam “klasik”), Islam merupakan agama yang modern. Kemodernan islam tsb. harus diungkap dan dibumikan demi pengabdian umat pada Islam tanpa menolak modernisasi, karena Islam itu sendiri adalah modern.
Tidak hanya itu, kaum agama juga mempunyai peran pentinga dalam kehidupan kenegaraan Indonesia yang multikultural ini. Kemajemukan semacam ini harus juga diperkokoh sebagai ciri chas dan nilai-nilai luhur yang juga harus dihormati, baik dalam beragama, maupun bermasyarakat.
Ini lah pemikiran Cak Nur yang akan di bahas dalam makalah ini. Dan memang, pembahasan ini sangat perlu di bahas didepan para mahasiswa. Karena semangat keindonesiaan Cak Nur cukup lah sebagai inspirasi untuk lebih memajukan bangsa ini.
Sesuai dengan pemikiran Cak Nur dalam buku Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, bahwa dalam mengembankan suatu masyarakat tidak lah cukup hanya mengikuti gerakan alamiah. Di sana butuh rangsangan-rangsangan, dorongan-dorongan, agar mengarah pada perkembangan itu. Makalah ini pun dibuat dengan tujuan untuk merangsang emosional kaum muda untuk teruk berkreativitas menggiring bangsa ini pada kemajuan yang hakiki.
Tampaklah bahwa nama Cak Nur dalam kasus islam indonesia merupakan simbol dari pembaharuan. Ia lah salah satu bapak bangsa yang gigih, inspiratif dan kreatif, dan dengan keilmuan yang luas di berberbagai bidang ilmu pengetahuan, lebih-lebih ilmu pengetahuan modern, ia mampu memodifikasi teori menjadi senjata yang ampuh dalam merenovasi ulang konsep dan metode keislaman nusantara yang membawa kemajuan dan keluasan berpikir.
Maka dari itu, penulis sebagai intelektual muda merasa terdorong untuk melanjutkan islam indonesia sebagai islam yang tetap menjaga kearifan lokal dan mampu menghadapi perkembangan zaman tanpa menghilangkan substansi islam itu sendiri. Sebagai langkah awal, penulis paparkan sedikit pemikiran salah satu pembaharu yang patut kita puja sebagai bapak revolusioner islam. Paparan itu meliputi islam keindonesiaa dan islam ditengah ambang modern, yang di dalamnya terdapat sub-sub pembahasan pula.
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid (Cak Nur)
Nurcholish Madjid kerap dipanggil dengan nama Cak Nur. Cerita awalnya penulis tidak tahu secara mendetail. Ia dilahirkan di Jombang, 17 maret 1939.
Sekitar umur belasan tahun, Ia mengawali belajarnya di KMI Pesantren Gontor Ponorogo dan menjadi alumni sekitar tahun 1960. Kemudian melanjutkan belajarnya di perguruan tinnggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekitar tahun 1968, dan meraih gelar doktor (Summa Cum Laude) dari Universitas Chicaho di AS 1984 dengan desertasi yang berjudul “Ibn Taimiyyah on Kalam And Falsafa”.
Pada tahun 1966-1971, ia sempat menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua priode. 1967-1969 sebagai presiden persatuan mahasiswa Islam Asia Tenggara serta wakil sekjen IIFO (Internasional Islamic Federation of Students Organisation). Pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta (1971-1974). Pernah menjadi guru besar tamu di MC Gill University Montreal, Canada 1991-1992.
Ia juga salah satu pendiri Yayasan Paramadina yang merupakan lembaga keagamaan yang dengan tegas menyadari keterpaduan antara keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam yang universal, berkaitan dengan tradisi lokal Indonesia.
B. Sekilas Tentang Budaya Islam
Sejak tampilnya Islam di muka bumi, sejak itu juga Islam mulai menggoreskan nilai-nilai budaya yang mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat Arab dari berbagai segi, baik politik dan keilmuan atau intelektualitas.
Dari segi politik, Rasulullah telah mengajarkan bagaimana memerintah suatu negara, mengayomi masyarakat, bekerjasama dengan negara lain dan bagaimana menyelesaikan masalah yang memang diarahkan pada musyawarah, sebagaimana dijelakan dalam al-Qur’an dan hadis[1]. Tidak hanya itu, dalam perkembangan selanjutnya –masa sesudah nabi sampai kepenyebaran Islam- pergulatan politik antar umat Islam pun juga terjadi sebegitu dahsyatnya. Misalkan saja pertempuran politik antara pengikut Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, dan Ahl al Syura.[2] Pergulatan ini menujukkan bahwa budaya politik Islam sangat tinggi, sehingga terbentuklah kekokohan dan kedewasaan politik Islam.
Dalam intelektual, Islam memang mempunyai budaya intelektual yang hebat. Terbukti dengan mencuatnya argumentasi-argumentasi rasional tentang kajian keagamaan dan juga kehidupan sehari-hari. Perbedaan pandangan tentang keagamaan dan kehidupan memang mengakibatkan munculnya pertarungan yang cukup hebat, yang kemudian sampai melahirkan sekte-sekte dalam tubuh Islam sendiri.
Meskipun telah mengorbankan banyak hal, harta, keluarga dan nyawa sekalipun, namun pertikaian itu telah melahirkan kekayaan intelektual Islam yang sangat agung. Dalam hal ini, semua umat manusia di jagat raya harus mengakui bahwa itu lah awal tampaknya kiblat intelektual dunia.
Pada kemudian hari, tradisi-tradisi itu melahirkan para pemikir-pemikir dunia dalam berbagai aspek yang sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan berikutnya. Para pemikir itu di antaranya Imam Syafi’e (pencetus metodelogi hukum terhebat)[3], Ibnu Sina (failasuf dan bapak kedokteran dunia) al-Ghazali (failasuf sekaligus sufi terkemuka), Ibn Rusy (failasuf rasionalis yang begitu berpengaruh di barat maupun di timur)[4], Ibn Khaldun (bapak sosiolog dunia yang menjadi rujukan utama ilmuan) dan lain-lain.
Namun, kejayaan itu mulai hancur ketika masyarakat Islam terlalu menikmati kemenangan itu, dan merasa terlalu hebat untuk dikalahkan bangsa lain. Pantas lah kalau mereka merasa terkejut ketika Napoleon –dengan peralatan dan teknologi yang begitu canggihnya- menyerang kekuasaan Islam di Mesir. Barangkali kalau didramatisir menjadi seperti ini “wah, ternyata ada ya bangsa lain yang lebih canggih dari masyarakat Islam”.
C. Islam Keindonesiaan
Dalam hal ini, Cak Nur merumuskan secara segar tentang nilai-nilai Islam yang melekat pada puing-puing bangsa Indonesia.
a. Nilai-nilai Keindonesian
Suatu kemutlakan yang tak terelakkan bahwa bangsa ini mempunyai nilai-nilai yang termaktub sepenuhnya dalam Pancasila. Pancasila merupakan ejawantah dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Ini adalah nilai-nilai luhur yang amat cocok dengan bangsa Indonesia, namun sebagai ideologi bangsa, tentunya tidak relevan jika Pancasila ditafsikan sekali untuk selamanya.
Pancasila sebagai acuan bangsa yang mengandung nilai-nilai luhur kebangsaan dan sudah mencakup kebenikaan Indonesia sangat lah pas untuk menjadi pemersatu bangsa ini. Dalam artian, seluruh aktivitas yang mendiaminya seharusnya mengarah pada suatu konvergensi nasional dengan penuh optimistik. Konvergensi ini adalah sautu hasil bentuk saling pengertian dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima. Memberi dan menerima itu sendiri, pada suatu urutannya, berakar dalam kemantapan masing-masing kelompok kepada diri mereka sendiri, atau, secara negatifnya, timbul dari hilangnya berbagai kekuatiran antar kelompok.
Hal yang menarik dalam interpretasi Cak Nur tentang sila pertama yaitu bahwa sila tersebut seharusnya bukan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, melainkan “Taqwa dan Ridla Tuhan” sebagai semangat keislaman. Namun, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan tentang kepermanenan itu, hanya saja, dalam penafsirannya lebih ngena dengan tafsiran taqwa dan ridla Tuhan.[5]
Tidak hanya itu, nilai-nilai keindonesiaan yang bisa ditarik dari ideologi Pancasila di atas ialah tentang nasionalme dan kosmopolitisme.
Cak Nur, mengemukakan definisi nasionalisme ini sebagai bentuk kenegaraan, kesatuan bahasa dan budaya, kesatuan warisan umum, kesatuan wilayah, perwujudan adanya tujuan bersama dan perwujudan upaya penentuan nasib sendiri. Secara khusus nasionalisme Indonesia termaktub dalam keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan militer, kemudian pengalaman pembangunan ekonomi secara pragmatis dan pluralisme.[6]
Indonesia pasti mempunyai masa lalu, budaya-budaya nenek moyang. Masa lalu itu memang tentu tetap relevan untuk dikenang dan disadari sebagai sumber inspirasi dan bahan penumbuhan rasa kesinambungan dan kelestarian historis. Namun yang lebih penting dari itu ialah langkah yang lebih berani untuk menghadapi masa depan.
b. Tradisi Islam Sebagai Sumber Substansi Ideologi
Pancasila merupakan titik temu dari segala perbedaan setiap warga negara baik dari budaya, kemasyarakatan maupun agama. Menurut Cak Nur, pencarian titik temu ini merupakan bagian dari tradisi Islam. Dalam ajaran Islam, pencarian titik temu antara berbagai agama merupakan hal yang tidak baru, karena itu juga merupakan perintah.[7]
Di sisi lain, Islam sudah melahirkan metode hukum yang disebut ushul fiqh. Kajian ini juga mentradisikan suatu pencarian titik temu yang paling mendasar –tentunya yang dipandang baik untuk semua- sebagai salah satu langkah memutuskan suatu hukum.
c. Islam Inklusif
Tema Islam inklusif ini adalah tema yang sangat sering tampil di permukaan. Jelas sudah tidak asing lagi di benak para pembaca. Hanya saja, tetap dibutuhkan penjabaran sebagai pelurusan atau pendalaman tentang makna yang harus dinikmati menuju kemajuan bersama.
Inklusif mengidentifikasikan sebagai sikap terbuka, toleran dan mau menerima orang lain. Sementara ekslusif adalah tertutup, jumud dan rigit. Inklusifisme berusaha menggapai kesatuan agama-agama. Berbeda dengan eksklusifisme yang berusaha untuk menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu.
Sementara inklusif teologis lebih mengedepankan aspek teologis sebagai pijakan dalam pengembangan keterbukaan dan toleransi. Menurut Sukidi, teologi inklusif dikatakan sebagai alternatif dari teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah.
Bangunan epistemologi teologi Cak Nur diawali dengan interpretasi al-Islam sebagai sifat pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini menurutnya menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam surat al-Imron ayat 19 dan 85. Di dua ayat tersebut, Islam oleh Cak Nur diinterpretasikan sebagai sikap kepasrahan diri kepada Tuhan.[8]
Pemahaman atas pengertian Islam di atas terinspirasi dari Ibn Taimiyah. Bahwa perkataan al-Islam mengandung pengertian perkataan al-istislam (sikap berserah diri) dan al-inqiyad (tunduk patuh), serta mengandung pula makna al-ikhlash (tulus).. maka tidak boleh tidak dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Ini lah hakikat ucapan kita laa ilaaha illa ‘allah. Maka jika seorang berserah diri kepadaNya dan sekaligus juga kepada selain Allah, dia adalah musyrik.[9]
D. Islam Kemoderenan
a. Meluruskan Makna Modernisasi
Banyak para tokoh yang menyalah tafsirkan modernisasi yang dikibarkan Cak Nur. Kesalahpahaman itu diawali oleh interpretasi-interpretasi yang miring terhadap isu sekularisasi yang dibawa Cak Nur sebagai jalan keluar dari problematika masyarakat Indonesia yang pada waktu itu didominasi oleh marxisme.
Dengan demikian, segala yang berhubungan dengan istilah barat yang keluar dari Cak Nur, mereka selalu mengidentifikasikan sebagai pengejawantahan pemikiran barat yang tidak boleh hidup dikalangan umat Islam. Dengan kata lain, modernisasi Cak Nur ialah westernisasi. Mereka pun mengkajinya secara timpang, mengkaji untuk mencari celah pemikiran Cak Nur, bukan kajian secara objektif.
Dalam gagasan Cak Nur, modernisasi ini dimaknai sebagai rasionalisasi. Rasionalisasi itu sendiri ialah suatu proses perombakan pola berpikir dan tatakerja lama yang tidak masuk akal dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tatakerja baru yang rasional. Tujuannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah hasil pemahaman manusia akan hukum-hukum objektif yang menguasai alam ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.[10] Modernisasi dalam hal ini merupakan rasionalisai struktur sosial.
Meskipun menawarkan rasionalisasi, tetapi ia secara tegas menolak rasionalisme. Menurutnya, rasionalisme ialah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut komunis. Maka, seorang rasionalis adalah menggunakan akal pikirannya dengan sebaiknya-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasinalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifisnya manusia. Maka menurut Islam, sekalipun rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui nabi-nabi.
Modernisasi itu tidak terpisah dari agama, tetapi tetap mengacu kepada iman Islam. Konsep ini merupakan pengembangan konsep yang sangat luar biasa. Cak Nur telah mampu merombak struktur pemikiran yang kemudian diimplementasikan secara baik tanpa menghilankan keislaman muslim. Dalam proses modernisasi itu juga tidak pernah lepas dari sekularisasi yang akan dibahas pada akhir pembahasan, sebagai pemusnahan terhadap kritikan rasjidin.
b. Relevansi Islam di Masa Kini
Relevansi Islam di masa kini, modern, bisa dilihat dari beberapa aspek, diantaranya perspektif pendidikan, pendekatan politik, pendekatan menyeleluruh terhadap Islam.
Keterbukaan pendidikan pasca proklamasi kemerdekaan memberikan kemampuan teknis-ilmiah yang lebih tinggi untuk mengungkakan dirinya, khususnya dalam mengungkapkan aspirasi dan wawasan. Lebih jauh, kemampuan itu juga menghasilkan suatu sampingan yang barangkali justru paling penting, yaitu kemantapan pada diri sendiri dan kecenderungan lebih besar untuk berpikir positif, malah mungkin inklusivistik. Dengan modal itu, maka umat Islam Indonesia diharapkan akan mengalami peningkatan kecanggihan wawasan dan pangan hidupnya, bukan dalam arti mengubah esensinya, tapi dalam arti mengubah metodenya yang, sepanjang mengenai efektivitas komunikasi dan penyampaian yang, sepanjag mengenai efektivitas komunikasi dan penyampaian wawasan, sering lebih penting diperhatikan daripada esensinya.
Keadaan itu menampilkan gejala-gejala yang menjadi petunjuk tentang adanya kemampuan teknis ilmiah umat Islam yang semakin canggih itu. hal itu berarti bahwa umat Islam akan mendapatkan kesempatan lebih baik dan efek kebaikan tersebut akan dirasakan semua orang. Untuk menggapai itu perlunya suatu pembenahan diseluruh bidang (tidak hanya di bidang politik) yang melahirkan suatu pendekatan baru berupa pendekatan kultural. Dengan meningkatnya kecanggihan ilmiah itu maka nilai-nilai positif keislaman dapat megalami tranformasi baru untuk mengubah masyarakat Indonesia, melalui kaum musliminnya, menjadi masyarakat modern, sebagai usaha mewujudkan nilai-nilai menjadi masyarakat modern.
Politik dan sosial Islam mempunyai orientasi yang begitu kuat untuk mendorong daya pendorong pertahanan dan perubahan sosial. Islam sebenarnya sangat bersebrangan dengan status qou. Islam di posisi ini sangat mencerminkan komopolitisme yang memungkin muslimin terbawa pada zaman modern.
Tidak hanya terletak pada apa yang telah disebutkan di atas, bahwa Islam mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam dirinya yang oleh Bellah disebut sebagai nilai-nilai demokratisnya yang terlalu modern untuk tempat dan zamannya.[11] Di dalam Islam terdapat suatu konsep baru tentang tatanan politis yang didasarkan pada partisipasi semua yang menerima wahyu Tuhan dan dengan demikian menjadikan mereka sebagai suatu komonitas umat baru.
c. Sumbangan Islam untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Disebutkan bahwa umat Islam adalah kaum yang pertama menginternasionalkan ilmu pengetahuan. Secara gamblang hal itu, sumbangan Islam terhadap ilmu pengetahuan modern yang ditandai pesatnya teknologi itu yang merupakan high culture umat umat saati itu juga sampai sekarang, tercermin dalam penggunaan istilah ilmiah seperti aljabar[12] (al-jabr), alkohol[13] (al-kuhul), azimuth/azimut[14] (al-sumt), logaritma[15] (al-khawarizmiyyah), cipher/sifer[16] (al-sifr), dan lain-lain.[17]
Kemudian penerjemahan karya failasuf muslim ke bahasa Latin dan dijadikan rujukan utama oleh orang Eropa. Buku-buku yang diterjemahkan diantaranya ialah Eropah berjudul De Aspectibus (karya al Kidi), De Ortu Scientearum (karya al Farabi), Canon (karya Ibnu Sina). Sedankan buku Canon kemudian menjadi text book dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier.[18] Penerjemahan itu jelas memperngaruhi pola pikir dan cara pandang orang barat yang kemudian melanjutkan pengembangan ilmu pengetahuan itu.
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa peradaban umat Islam yang amat agung itu dihasilkan karena keterbukaan umat Islam terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan umat lain. Keterbukaan itu, mendorong umat Islam untuk berkreasi dan bertindak sebagai penengah serta saki keseluruhan umat manusia. Yang lebih penting ialah bahwa keterbukaan itu melahirkan sikap lebih lanjut yang amat mendorong perkembangan ilmu dan peradaban, seperti sikap segan mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat dari umat lain.
E. Kritikan Prof. Rasjidin yang tak Akademis
Dalam kritikannya, Rasjidin, memang sangat menyoroti istilah Cak Nur, yang diserukan pertamakali sebagai bentuk jalan keluar menuju Islam Indonesia modern, ialah sekularisasi. Penggunaan istilah sekularisasi dalam gagasan Cak Nur tahun 70an ini menimbulkan reaksi besar-besar dari intelektual muslim lain, yang konservatif dan anti barat. Istilah ini pula yang menggugurkan julukan terhadap Cak Nur sebagai Muhammad Natsir yang bangkit kembali dalam sosok Cak Nur.
Rasjidin tidak setuju dengan istilah sekularisasi yang terpisah dari sekularisme. Sekularisasi dalam pandangan Rasjidin merupakan suatu proses yanga tak pernah lepas dari sekularisme, di mana ada sekularisme, di situ ada sekularisasi dan begitu pula sebaliknya. Itu lah yang menimbulkan persepsi bahwa Cak Nur menggunakan istilah sekularisasi itu semaunya saja.
Tampaknya, penilaian Rasjidin ini terlalu sempit. Ia hanya menafsirkan sekularisasi itu sebagai proses menuju sekularisme. Kemudian, ia memahami sekularisasi itu sebagai proses falsafi yang hanya bermakna proses pemisahan dan pemusnahan terhadap kepercayaan pada Tuhan, dan tidak melihat makna-makna lain yang lebih tepat sebagaimaa istilah yang digunakan Cak Nur. Padahal, makna dan penggunaan sekularisasi itu jauh lebih luas dari apa yang dikatakan Rasjidin.
Cak Nur dalam menggunakan istilah sekularisasi ini mengacu kepada sekularisasi secara sosiologis, bukan ideologis. Dalam sosiologis, oleh Parsons ditunjukkan bahwa sekularisasi lebih banyak mengisyaratkan kepada pengetian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya dan hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemayarakatan itu. bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu bisa semata-mata terjadi karena dorongan atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.
Sekularisasi ini tidak sama sekali menjauhkan diri masyarakat dari Tuhan atau agama, tetapi malah terjadi sebaliknya. Bahwa sekularisasi ini berlandaskan pada tauhid, sebagaimana juga dikatakan Bellah. Ketika Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural islam klasik yang relevan dengan argumennya, bahwa islam klasik itu modern, yaitu monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapa allah, devaluasi radikal atau sekularisasi pranata kesukuan arab jahiliah dan akhirnya sistem politik demokrasi. Dalam hal ini memang sekularisasi islam klasik menurunkan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman jahiliyah menjadi pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan yang maha esa belaka.
Ditambah lagi bahwa istilah sekularisasi sudah jelas-jelas dilontarkan oleh Cak Nur berdasarkan perspektif sosiologis. Bahwa sekularisasi itu merupakan pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian ia mengandung makna desakralisasi. Dalam kata lain, sekularisasi itu merupakan bentu pemberantasan bid’ah, khurafat dan praktek syirik lainnya, yang kesemuanya itu berlangsung dibawah semboyan kembali kepada kitab dan sunnah dalam usaha memurnikan agama.
Sekularisasi merupakan konsekuensi dari tauhid. Taudid sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi ridhoNya. Hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kegiatan manusia.
Di kesempatan yang lain, Cak Nur sudah dengan keras mengkritik dan menolak sekularisme yang merupaka paham tertutup. Puncak dari sekularisme itu adalah ateisme. Sekularisme merupakan sumber dari imoralitas. Oleh karena itu, sekularisasi Cak Nur dengan sekularisme itu sangatlah bertolak belakang, sehingga menghasilkan hal yang berbeda pula. Sesuatu yang bertolak belakan dalam pemikiran seseorang dalam waktu yang bersamaan, itu tidak mungkin.
Kritikan Rasjidin terhadap sekularisasi itu tidak tepat. Pisau analisis yang digunakannya tidak akademis dan simpangsiur, karena menilai sekularisasi (secara sosiologis) dengan pisau ukur sekularisme (secara falsafi). Sehingga kritikan Rasjidin itu pun tidak logis dan timpang.
Daftar Pustaka
Geoge B. Grese dan Benjamin B. Hubbard, Tiga Satu Tuhan: Sebuah Dialog, Penerjemah. Santi Indra Astuti, Bandung: Mizan, 1998
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, cet. vi, 2008
_________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung; Mizan, cet. i, 1987
_________________, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta; Paramadina, cet.i, 1997
_________________, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta; Paramadina, cet. iii, 1995
_________________, Tradisi Islam, Jakarta; Paramadina, cet. I, 1997
Hairus Saleh, Sang Penyelamat Ilmu Pengetahuan, Radar Madura, 18 juli 2011
[1] Dr. Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta; Paramadina, cet. iii, 1995), h. 252
[2] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta; Paramadina, cet.i, 1997), h. 2
[3] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 67
[4] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 105
[5] Dr. Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, (Jakarta; Paramadina, cet. I, 1997), h. 55
[6] Dr. Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung; Mizan, cet. i, 1987), h. 38
[7] Dr. Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 24
[8] Geoge B. Grese dan Benjamin B. Hubbard, Tiga Satu Tuhan: Sebuah Dialog, Penerjemah. Santi Indra Astuti, (Bandung: Mizan, 1998), h. xix
[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, cet. vi, 2008), h. 176
[10] Dr. Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 28-29
[11] Dr. Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 79
[12] Cabang matematika yg menggunakan tanda-tanda dan huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka (a, b, c, sbg pengganti bilangan yg diketahui dan x, y, z untuk bilangan yg tidak diketahui)
[13] Senyawa organik yang gugusan OH pada atom karbon jenuh.
[15] Eksponen pangkat yg diperlukan untuk memangkatkan bilangan dasar supaya beroleh bilangan tertentu (jika bilangan dasarnya 10, maka log 100 = 2, artinya 10 pangkat 2 = 100); kebalikan dari hitungan pangkat
[16] nol; angka nol
[17] Dr. Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 275
[18] Hairus Saleh, Sang Penyelamat Ilmu Pengetahuan, Radar Madura, 18 juli 2011, h. 32
Post a Comment for "Gagasan Pemikiran Nurcholish Madjid"