Melacak Peran Filsafat Islam dan Mistisisme dalam Kebudayaan Islam
(Studi Kasus Filsafat Islam dan Budaya Cina)**
Oleh: Ayatullah Prof. Dr. Sayyed Muhammad Khamenei
JALAN Sutra yang pernah menghubungkan China ke Timur Tengah dan belahan dunia yang lain itu ternyata bukan sekedar rute yang digunakan untuk mengangkut barang dan menjalin hubungan dagang atau keterkaitan yang bersifat material, namun juga jalan untuk membangun hubungan dalam hal pemikiran, budaya, sains, industri, filsafat, dan mistisisme. Beruntung sekali saat itu ada jalan terbuka yang bisa menghubungkan hati dan saling bertukar cinta kasih antar bangsa.
Abad ke-6 SM merupakan titik balik bagi sejarah kebudayaan. Abad ini menyaksikan munculnya Zoroaster, nabi reformis yang saleh, yang juga teosof dari Persia. Selain itu ada pemuka ajaran moral dan filsafat yang jenius seperti Lao Tzu dan Konfusius, Buddha di India, Pythagoras dan Thales di wilayah yang berdekatan dengan Yunani. Menurut beberapa peneliti, dulu Pythagoras dan Thales pernah melawat ke Iran dan menjadi murid di sekolah-sekolah yang didirikan Imam Magi Persia. Ada juga beberapa pendapat yang menyatakan adanya berbagai persamaan yang dijumpai pada prinsip-prinsip filosofis Iran Kuno—yang disebut iluminasionisme atau Filsafat Timur—dengan doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Buddha dan Lao Tzu (berkenaan dengan filsafat spekulatif, pemikiran mereka serupa dengan Mistisisme Islam modern); dan Konfusius (ajaran filsafat praktis, politik, dan prinsip pemerintahan yang diusungnya sejalan dengan dinasti Magi di Persia). Karena itu, muncul dugaan bahwa memang ada hubungan antara para teosof ini dengan para pemikir Iran, bahkan dengan Zoroaster sendiri.
Dasar pemikirannya adalah, para teosof Persia Kuno, yang dikenal dengan sebutan Magi, merupakan masyarakat kelas pertama setelah raja dan pengadilan, dan merupakan komunitas yang mandiri, dan luas cakupannya di masa itu. Disebutkan juga bahwa selama pemerintahan Cyrus dan raja-raja lain di masa itu, para Magi itu hadir di semua wilayah di sekitar Persia, dari anak benua India, hingga Mesir dan Yunani.
Walaupun persamaan pandangan maupun keterkaitan filsafat dan agama di antara mereka itu kian tergerus waktu, dan terpengaruh oleh berbagai kepentingan serta kebiasaan setempat, pengaruhnya tetap ada. Interaksi antar pemikiran dan kebudayaan yang mereka jalin tak pernah lenyap. Demikian pula di China, karena perkembangan zaman dan munculnya berbagai dinasti, maka mahzab pemikiran China telah mengalami berbagai perubahan. Mereka juga telah menyaksikan aneka kemajuan dan kemunduran.
Karena bangkitnya Islam memberikan efek sangat nyata dan luar biasa di seluruh peradaban dunia di masanya, dan pada gilirannya membuat Iran yang begitu berkuasa, serta kekaisaran Roma yang arogan itu tunduk pada prinsip ideologi dan mahzab ketuhanannya, maka gelombang Islam juga menyebar ke seluruh bangsa di wilayah timur, dan bangsa China menganggapnya sebagai hal yang lumrah.
Tak lama setelah munculnya Islam—tahun 651 M—agama ini masuk ke China, dan banyak pribumi yang menganutnya. Di era tertentu dalam sejarah China, termasuk masa dominasi Mongol di China, agama Islam kian menemukan momentum untuk bisa diterima.
Tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan semata-mata rangkaian doktrin religius dan sebuah paket keyakinan, ataupun ritus-ritus keagamaan. Lebih dari itu, Islam membawa peradaban yang megah, maju, sesuai dengan perkembangan zaman, dan terus mengalami perbaikan. Islam mempersembahkan karya-karya terkemuka di bidang sains dan seni maupun filsafat, matematika, astronomi, dan obat-obatan. Pada saat dunia masih mengimpor dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani, ilmu-ilmu tersebut mengalami kemerosotan yang tajam, dan kemudian bisa mencapai puncaknya berkat upaya yang dilakukan oleh figur-figur terkemuka seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Khayyam, Biruni, dan Al-Razi. Dalam bidang obat-obatan, misalnya, Ibn Sina dengan karyanya Al Qanun dan Kitab Ash-shifa (Kitab Pengobatan), di bidang logika, filsafat, matematika, dan ilmu alam, selama bertahun-tahun menjadi dasar untuk mempelajari bidang-bidang ini di Timur dan Eropa Pertengahan; kitab-kitab filsafatnya masih menjadi sumber utama ilmu filsafat Islam hingga kini.
Walaupun sebelumnya Iran merupakan pusat ilmu-ilmu tersebut (sejak abad ke-4 Hijriah) dan dinasti demi dinasti di Iran mendukung para ilmuwan dan filosof, di wilayah sekitar Iran, khususnya di anak benua India, ilmu-ilmu tersebut termasuk sastra Parsi cukup menyebar luas. Para penyair biasa menulis puisi mereka dalam bahasa Parsi. Para filosof biasa mengajarkan kitab-kitab Ibn Sina; dan di wilayah yang kini dikenal dengan sebutan Asia Minor (khususnya kota seperti Marv, Bukhara, dan Samarkand merupakan bagian dari Iran, dan dikuasai oleh Iran kecuali di masa dinasti Ghaznavid, Samaniyah, Seljuk, dan Khwarazmshah) juga tak jauh dari Iran dalam hal menguasai kebudayaan, filsafat dan ilmu pengetahuan. Di seluruh wilayah ini, ilmu pengetahuan dan budaya Iran dan Islam sama-sama tersebar luas.
Jalan Sutra merupakan jalur perdagangan yang diperlukan China untuk menjual dan mengekspor berbagai komoditas, khususnya sutra, dan merupakan cara yang unik untuk menghubungkan China dengan dunia luar sebelum jalur laut dikenal luas. Namun demikian, melalui jalur inilah hubungan China dengan budaya dan pengetahuan Islam menemukan jalannya. Para ilmuwan Iran dan China saling melawat ke negara masing-masing dan jadi saling akrab dengan kebudayaan masing-masing.
Melalui jalur penting inilah berbagai pengalaman dan penemuan China yang sangat berharga (seperti kertas dan bubuk mesiu) bisa masuk ke Timur Tengah bersama-sama dengan sutra dan barang dagangan lain. Sebaliknya, begitu banyak kebudayaan dan ritual Islam, bersama-sama dengan para ilmuwan dan buku-buku filsafat, maupun barang dagangan dari wilayah barat masuk ke China. Berkat pertukaran ini, pengetahuan yang dibawa para ilmuwan tersebut digunakan oleh pemerintahan China.
Menurut para raja dan emir, ada dua ilmu pengetahuan yang penting, dan karenanya bermanfaat serta mereka perlukan; yaitu: pengobatan yang bisa menjaga kesehatan mereka, dan astrologi, yang bisa memberitahu mereka tentang keberuntungan dan nasib sial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menjauhkan mereka dari marabahaya. Astrologi ini hadir menyertai pengetahuan tentang benda-benda luar angkasa, pengukuran waktu, dan penyusunan kalender.
Mungkin karena itulah astrologi Islam masuk ke China sejak masa Tang. Pembagian kalender dengan kemiringan 60 derajat dan memperhitungkan tahun kabisat, yang merupakan metode yang ditemukan oleh Hakim Khayyam dari Nishapur, diadopsi oleh bangsa China. Dengan tegas dinyatakan oleh para ilmuwan China, bahwa sistem kalender ini merupakan salah satu sumbangsih paling penting yang diberikan para ilmuwan Islam kepada ilmu pengetahuan di China. Ada ahli matematika Iran yang diundang ke China pada masa pemerintahan Jiang Lung untuk mengoreksi kalender China, hingga diberi gelar kebangsawanan kehormatan. Dia dikenal dengan nama Ma-yize.
Selama masa kekuasan Mongol (Dinasti Yuan) di China, kiprah ilmuwan Islam dan berbagai buku karya mereka—nyaris di semua bidang pengetahuan—kian memperoleh dukungan. Karenanya para ilmuwan Iran masuk ke China dengan membawa buku-buku astrologi, matematika, ramalan, kimia, geografi, obat-obatan, sastra, filsafat, dan sejarah.
Jamaluddin merupakan salah satu astrolog Iran di tahun 267 H yang menawarkan tujuh peralatan astrologi hasil temuannya kepada kaisar. Penemuan itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Di antara penemuannya adalah globe, yang saat itu adalah benda yang benar-benar baru. Bertentangan dengan keyakinan para ilmuwan China yang beranggapan bahwa bumi itu datar, benda itu membuktikan bahwa bumi itu seperti bola. Di globe tersebut, dia pernah menggambar peta bumi sesuai dengan penjelasan dan pengalaman para ilmuwan Muslim di masa itu.
Berkaitan dengan ilmu obat-obatan, di masa itu ilmuwan Muslim juga berada di tingkat teratas. Mereka mengekspor obat-obatan ke China melalui para pedagang, dan menjadikan China akrab dengan obat baru hasil temuan mereka. Dokter-dokter Iran biasa berkunjung ke China atas permintaan para kaisarnya untuk mengobati penyakit, serta mengajarkan ilmu pengobatan dan farmasi. Kedatangan mereka itu menyebabkan masuknya obat-obatan Iran—yang merupakan kombinasi antara ramuan Galen, ramuan tradisional Iran, dan temuan ilmuwan Islam—ke China.
Tentang ilmu obat-obatan ini, salah seorang ilmuwan China menulis:
Di tahun 982 M, seorang kaisar dari Dinasi Sung memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan di propinsi Fujian dibuka untuk 37 macam jenis obat. Kebanyakan obat itu diimpor oleh para pedagang Muslim. Buku Accounts in Sung’s Period—Catatan di Masa Sung—menunjukkan bahwa jumlah obat-obatan yang diimpor dari Timur Tengah sangat banyak. Bersamaan dengan diimpornya obat-obatan dari Timur Tengah, maka metode pengobatan penyakit juga masuk ke China. Buku-buku karya dokter Iran yang ternama seperti Al Razi dan Ibn Sina, yang ditulis dalam bahasa Arab—karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman—dibawa pula ke China. Berbagai dokumen menyebutkan bahwa salah seorang ilmuwan China pergi ke Iran dan mempelajari ilmu obat-obatan tertentu dari Al-Razi.
Munculnya berbagai cabang ilmu pengetahuan alam, astrologi, mesin, obat-obatan, dan sejenisnya di masing-masing periode dan pada masing-masing individu akan membangun eksistensi filosofis maupun teosofis dalam diri individu atau periode tersebut. Mengapa? Karena pengalaman menujukkan bahwa di setiap periode, semua ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang di dalam filsafat, dan akan terus mengalami kemajuan. Secara logis, filsafat dan teosofi merupakan ibu dari semua ilmu pengetahuan, karena seorang ilmuwan yang memiliki salah satu pengetahuan tersebut, kurang lebih merupakan manifestasi dari hakikat dirinya sebagai seorang filosof. Sayangnya, hubungan ini sedikit banyak telah dikaburkan sejak munculnya westernisasi modern. Walaupun demikian, sejak akhir abad ke-20, semua ilmu pengetahuan mulai meminta suaka kepada filsafat dan mencari solusi atas berbagai problematika mereka melalui filsafat.
Berdasarkan fakta itulah, filsafat menemukan jalan masuk, bersamaan dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain yang telah diterima luas di negara-negara tetangga China sejak Dinasti Sung, dan yang dikuasai oleh ilmuwan Muslim di abad ke-4 H. Buku-buku karya Ibn Sina dan Al Razi, serta karya murid-murid mereka juga masuk ke kalangan China Muslim. Menyebarnya filsafat Islam di China mendorong para filosof Muslim melakukan serangkaian studi komparatif antara filsafat dan kebudayaan Islam di satu sisi, dan filsafat China kuno seperti Konfusius, Taoisme, dan Buddhisme di sisi lain.
Perpaduan dua pemikiran ini kian mengemuka menjelang akhir Periode Ming. Perkawinan antara filsafat Islam dan filsafat Konfusius yang dilakukan oleh para ilmuwan dan filosof Muslim yang akrab dengan kedua mahzab ini pada akhirnya tak bisa mencegah terjadinya efek timbal balik.
Kita tak pernah tahu pasti, hingga sejauh mana para filosof Muslim ini, yang bersinggungan dengan filsafat Islam maupun mahzab Konfusius, menjalin kontak dengan para pemuka Konfusius di China. Walaupun begitu, kita tahu pasti bahwa pengetahuan tak mengenal batas wilayah; lebih-lebih bagi orang yang tinggal di sebuah negara, khususnya yang tinggal di kota, interaksi berbagai pemikiran dan kebudayaan adalah fenomena yang lazim. Untuk memahami kedalaman pengaruh filsafat dan mistisisme Islam terhadap Neo-Konfusianisme, diperlukan investigasi lebih lanjut, yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan China.
Menurut sejumlah dokumen asli, dari waktu ke waktu, beberapa filosof dan teosof dari Timur Tengah—terutama dari Khurasan dan Anak Benua India—biasa mengunjungi China, baik untuk berwisata, belajar, maupun mengajar atas undangan kalangan Muslim China. Misalnya, di abad ke-17 dan ke-18, lawatan bangsa Iran ke China tercatat resmi. Di masa itu, Dinasti Savawi memerintah Iran, dan pemerintahan Anak Benua di tangan para Timur India, yang sangat tergantung kepada Iran dalam hal kebudayaan, sastra, dan filsafat. Jelas bahwa dalam sebagian besar buku-buku Mulla Shadra, khususnya Sharh Al-Hidayah, yang dengan asal-asalan disebut dengan judul Mulla Sadra, biasa diajarkan di sana, dan memang sangat terkenal.
* Disampaikan pada International Studium General. Yang diadakan atas kerja sama Islamic College Jakarta, RausyanFikr Yogyakarta dan fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah dan Filsafat UIN Sunan kalijaga Yogyakarta: dengan tema Melacak Peran Filsafat Isalam dan Mistisisme dalam kebudayaan Islam. Pada 31 Maret 2010. Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
* Makalah ini pernah dimuat dalam www.mullashadra.org dengan judul Islamic Philosophy and Chinese Culture,
2 comments for "Melacak Peran Filsafat Islam dan Mistisisme dalam Kebudayaan Islam"
--------------------
jamaluddin tuh ilmuwan muslim atau parsi?