MISTISISME, DAN PUNCAK PENCARIAN HAKIKAT KEBENARAN
Oleh: Hairus Saleh
Para failasuf menggunakan akal sebagai alat pencarian kebenaran hakiki. Namun, disisi lain sebagian dari mereka (yang lebih pas disebut dengan para Mistikus) menggunakan intuisi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. namun untuk mengtahui hal tersebut kita perlu faham tentang mistisme terlebih dahulu yang akan disampaikan dibawah ini.
Mistisme dalam bahasa Inggris berarti mysticism, yang berasal dari kata mystes yang berarti orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan, dan kata myein yang bermakna menutup mata sendiri.[1]
Sebagai jalan keruhanian untuk mencapai hakikat diri dan ketuhanan. Mistisisme sering diartikan sebagai hikmaah dan pengetahuan eksperimental tentang Tuhan, yakni pengetahuan tentang-Nya sebagai Wujud Mutlak yang didasarkan pemahaman intuitif atau kalbiah, yang juga disebut pengetahuan langsung dan dialami sepenuhnya oleh sang pencari. Happold (1960:43) mengatakan bahwa mistisisme juga dapat disebut sebagai upaya akal budi manusia untuk mengenal hakikat terakhir segala sesuatu dan hakikat ketuhanan sedalam-dalamnya. [2]
Sedangkan Rudolf Otto (1932:73-79) dan F. C. Happold (1960:43) misalnya mengelompokkan mistisme dalam dua jenis: (1) Mistisisme Cinta dan Penyatuan (the mysticism of love and union), dan (2) Mistisisme Makrifah dan Pemahaman (the mysticism of knowledge and understanding). Dengan cara lain, Happold mengelompokkan ke dalam tiga corak: (1) Mistisisme-alam (nature- mysticism); (2) Mistisisme-jiwa (soul-mysticism) dan (3) Mistisisme-Tuhan (God-mysticism).[3]
Pada penjabaran diatas dapat diambil pengertian bahwa dalam mistisme, penggunaan akal sangat berbeda dengan penggunaan akal dalam falsafah secara khusus. Perbedaannya adalah akal yang digunakan dalam falsafah adalah akal yang bersifat analitik yang bertujuan untuk memilih dan memilih segala hal sampai dijumpai cirri terakhir dari suatu yang membedakan nya dari suautu yang lain. Sedangkan yang digunakan dalam mistisme adalah akal intuitif yang bertujuan untuk menyatukan apa yang dilihat kalbu, sehingga rahasia ketuhanan atau wujud ketuhanan bisa difahami sampai hakikatnya yang terakhir.
Dan pengetahuan yang dihasilkan dari akal intuitif ini merupakan pengutahuan yang paling tinggi dari pada pengetahuan yang lainnya pengetahuan intuitif mampu mentransendensikan kebenaran perennial, dan membebaskan dari yang membelenggunya dari luar diri sehingga tercipta penyatuan hakiki dengan Tuhan. begitulah menurut Muhammad Iqbal.[4]
Pada kenyataannya, terdapat dua kebutuhan yang tidak dapat dipungkiri, dan harus dipenuhi manusia dalam menjalani kehidupan, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang bersifah dhohir seperti makan, biologis, dll. Dan untuk mendapatkannya, memalalui proses yang mudah ditemukan.
Kebutuhan rohani meliputi kebutuhan roh, jiwa yang juga harus dipenuhi manusia sepabagai ketenangan batin. Kebutuhan roh yang dimaksud disini adalah kebutuhan bersifat metafisika yang merupakan substansi dari segala hal. Dalam kebutuhan ini jiwa mencari sesuatu ketenangan tertinggi yang dilambangkan dengan penemuan, dan penyatuan diri terhadap kebenaran hakiki dari substansi tertinggi jagat raya.
Kebenaran substansi yang hakiki disini adalah Tuhan. Tuhan merupakan susuatu tak terbatas dan berada diluar ruang dan waktu, dan juga lepas dari sesuatu yang terbatas[5] seperti akal yang bersifat analitik karena tuhan jauh tidak bisa dianalisis berdasarkan dengan sesuatu yang terbatas. Tapi ketidak mampuan akal manusia tidak menjadikan halangan untuk menggapaiNya. Manusia mampunyai akal intuisi (hati) yang dalam hindu disebut dengan atman (diri hakiki) yang lepas dari ruang waktu, dan bebas dari hal materi.
Oleh karena itu, untuk mencapai puncak pencarian tersebut tidak bisa menggunakan pengetahuan empiris, tidak pula melalui rasio yang bersifat analitik, tapi hanya bisa menggunakan akal intuitif yang hadir dalam hati.[6] Sehingga jangankan untuk mendapatkan kebenaran tersebut, untuk memahami saja merupakan hal yang sangat sulit, apalagi untuk mendapatkannya. Tapi kesulitan disitu bukan berarti tidak bisa mendapatkannya.
Lebih lanjut, Al Ghazâlî menjelaskan bahwa kepastian teoretis yang berdasarkan penalaran matematis, dan logis hanyalah sebagai efek dari jenis pengetahuan tertinggi yang didapatkan melaluli pengalaman mistis.[7] Dengan demikian hasil dari proses akal analitik, dan akal intuitif jauh lebih tinggi tingkatan akal intuitif dibandingkan akal analitik.
Jika diamati manusia berjalan diatas bumi pada hakikatnya memang mencari hakikat kebenaran yang merupakan fitrah hidupnya. Namun mereka menggunakan berbagai cara untuk menggapainya. ada yang menggunakan cara keduniaan, ada yang menggunakan akal, dan ada yang menggukan cara yang langsung pada cara yang tepat, yaitu menggunakan akal intuitif sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan inilah yang dimaksud dengan Mistisme sebagai pencarian hakikat kebenaran tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn, 1977
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakatrta; Gramedia, 2005
Hadi, Abdul W. M, Rumi, Sufi dan Penyair, Bandung: Pustaka, 1985
Hegel, G. W. F., Filsafat Sejarah, penerjemah; Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ii, 2002
Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, cet. i, 2003
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakatrta; Gramedia, 2005), h. 652
[2] Abdul Hadi W. M, Rumi, Sufi dan Penyair, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 200
[3] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn, 1977), h. 272-294
[4] Abdul Hadi W. M, Rumi, Sufi, dan Penyair, h. 200
[5] Seyyid Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, cet. i, 2003), h. 325
[6] G. W. F. Hegel, Filsafat Sejarah, penerjemah; Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ii, 2002), h. 20
[7] Seyyid Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 320
Para failasuf menggunakan akal sebagai alat pencarian kebenaran hakiki. Namun, disisi lain sebagian dari mereka (yang lebih pas disebut dengan para Mistikus) menggunakan intuisi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. namun untuk mengtahui hal tersebut kita perlu faham tentang mistisme terlebih dahulu yang akan disampaikan dibawah ini.
Mistisme dalam bahasa Inggris berarti mysticism, yang berasal dari kata mystes yang berarti orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan, dan kata myein yang bermakna menutup mata sendiri.[1]
Sebagai jalan keruhanian untuk mencapai hakikat diri dan ketuhanan. Mistisisme sering diartikan sebagai hikmaah dan pengetahuan eksperimental tentang Tuhan, yakni pengetahuan tentang-Nya sebagai Wujud Mutlak yang didasarkan pemahaman intuitif atau kalbiah, yang juga disebut pengetahuan langsung dan dialami sepenuhnya oleh sang pencari. Happold (1960:43) mengatakan bahwa mistisisme juga dapat disebut sebagai upaya akal budi manusia untuk mengenal hakikat terakhir segala sesuatu dan hakikat ketuhanan sedalam-dalamnya. [2]
Sedangkan Rudolf Otto (1932:73-79) dan F. C. Happold (1960:43) misalnya mengelompokkan mistisme dalam dua jenis: (1) Mistisisme Cinta dan Penyatuan (the mysticism of love and union), dan (2) Mistisisme Makrifah dan Pemahaman (the mysticism of knowledge and understanding). Dengan cara lain, Happold mengelompokkan ke dalam tiga corak: (1) Mistisisme-alam (nature- mysticism); (2) Mistisisme-jiwa (soul-mysticism) dan (3) Mistisisme-Tuhan (God-mysticism).[3]
Pada penjabaran diatas dapat diambil pengertian bahwa dalam mistisme, penggunaan akal sangat berbeda dengan penggunaan akal dalam falsafah secara khusus. Perbedaannya adalah akal yang digunakan dalam falsafah adalah akal yang bersifat analitik yang bertujuan untuk memilih dan memilih segala hal sampai dijumpai cirri terakhir dari suatu yang membedakan nya dari suautu yang lain. Sedangkan yang digunakan dalam mistisme adalah akal intuitif yang bertujuan untuk menyatukan apa yang dilihat kalbu, sehingga rahasia ketuhanan atau wujud ketuhanan bisa difahami sampai hakikatnya yang terakhir.
Dan pengetahuan yang dihasilkan dari akal intuitif ini merupakan pengutahuan yang paling tinggi dari pada pengetahuan yang lainnya pengetahuan intuitif mampu mentransendensikan kebenaran perennial, dan membebaskan dari yang membelenggunya dari luar diri sehingga tercipta penyatuan hakiki dengan Tuhan. begitulah menurut Muhammad Iqbal.[4]
Pada kenyataannya, terdapat dua kebutuhan yang tidak dapat dipungkiri, dan harus dipenuhi manusia dalam menjalani kehidupan, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang bersifah dhohir seperti makan, biologis, dll. Dan untuk mendapatkannya, memalalui proses yang mudah ditemukan.
Kebutuhan rohani meliputi kebutuhan roh, jiwa yang juga harus dipenuhi manusia sepabagai ketenangan batin. Kebutuhan roh yang dimaksud disini adalah kebutuhan bersifat metafisika yang merupakan substansi dari segala hal. Dalam kebutuhan ini jiwa mencari sesuatu ketenangan tertinggi yang dilambangkan dengan penemuan, dan penyatuan diri terhadap kebenaran hakiki dari substansi tertinggi jagat raya.
Kebenaran substansi yang hakiki disini adalah Tuhan. Tuhan merupakan susuatu tak terbatas dan berada diluar ruang dan waktu, dan juga lepas dari sesuatu yang terbatas[5] seperti akal yang bersifat analitik karena tuhan jauh tidak bisa dianalisis berdasarkan dengan sesuatu yang terbatas. Tapi ketidak mampuan akal manusia tidak menjadikan halangan untuk menggapaiNya. Manusia mampunyai akal intuisi (hati) yang dalam hindu disebut dengan atman (diri hakiki) yang lepas dari ruang waktu, dan bebas dari hal materi.
Oleh karena itu, untuk mencapai puncak pencarian tersebut tidak bisa menggunakan pengetahuan empiris, tidak pula melalui rasio yang bersifat analitik, tapi hanya bisa menggunakan akal intuitif yang hadir dalam hati.[6] Sehingga jangankan untuk mendapatkan kebenaran tersebut, untuk memahami saja merupakan hal yang sangat sulit, apalagi untuk mendapatkannya. Tapi kesulitan disitu bukan berarti tidak bisa mendapatkannya.
Lebih lanjut, Al Ghazâlî menjelaskan bahwa kepastian teoretis yang berdasarkan penalaran matematis, dan logis hanyalah sebagai efek dari jenis pengetahuan tertinggi yang didapatkan melaluli pengalaman mistis.[7] Dengan demikian hasil dari proses akal analitik, dan akal intuitif jauh lebih tinggi tingkatan akal intuitif dibandingkan akal analitik.
Jika diamati manusia berjalan diatas bumi pada hakikatnya memang mencari hakikat kebenaran yang merupakan fitrah hidupnya. Namun mereka menggunakan berbagai cara untuk menggapainya. ada yang menggunakan cara keduniaan, ada yang menggunakan akal, dan ada yang menggukan cara yang langsung pada cara yang tepat, yaitu menggunakan akal intuitif sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan inilah yang dimaksud dengan Mistisme sebagai pencarian hakikat kebenaran tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn, 1977
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakatrta; Gramedia, 2005
Hadi, Abdul W. M, Rumi, Sufi dan Penyair, Bandung: Pustaka, 1985
Hegel, G. W. F., Filsafat Sejarah, penerjemah; Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ii, 2002
Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, cet. i, 2003
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakatrta; Gramedia, 2005), h. 652
[2] Abdul Hadi W. M, Rumi, Sufi dan Penyair, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 200
[3] Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan: Pustaka Aman Press Sdn, 1977), h. 272-294
[4] Abdul Hadi W. M, Rumi, Sufi, dan Penyair, h. 200
[5] Seyyid Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, cet. i, 2003), h. 325
[6] G. W. F. Hegel, Filsafat Sejarah, penerjemah; Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ii, 2002), h. 20
[7] Seyyid Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 320
Post a Comment for "MISTISISME, DAN PUNCAK PENCARIAN HAKIKAT KEBENARAN"