Lintas Pemikiran Nurcholis Madjid
Oleh Hairus Saleh
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Pendahuluan
Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merasuk di seluruh pelosok negara mengakibatkan modernisasi yang tak terbendung. Kaum agama mengalami xenophobia, semacam ketakutan terhadap dampak-dampak modernisasi. Ketakutan itu melahirkan pula suatu penulakan terhadap modernisasi. Hal ini jelas disebabkan karena ketidak siapan kaum agama dalam menghadapi hal ini.
Memang terbukti, pada saat itu, awal modernisasi, pengaruh-pegaruh kaum agama termasuk agama itu sendiri sudah mulai memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pendekatan-pendekatan agama klasik sudah mulai ditinggalkan masyarakat, karena pengaruh rasionalisasi ilmu pengatahuan dan teknologi.
Hal ini lah yang mengharuskan kaum keagamaan harus merubah haluan pendekatan keagamaan dari pendekatan klasik yang kurang rasional menjadi pendekatan yang ilmiah, rasional tanpa harus lepas atau menyimpang dari nilai-nilai dasar keagamaan itu sendiri. Ini dilakukan untuk mengembalikan pengaruh agama di masyarakat.
Pengembalian keagamaan ini adalah langkah awal dalam mengukuhkan pondasi keagamaan seseorang yang merupakan dasari dalam menghadapi modernisasi ini. Dalam hal ini, kaum keagamaan tak perlu menulak modernisasi, tetapi harus menerimanya tanpa harus menghilangkan nilai agama itu sendiri.
Tidak hanya itu, kaum agama juga mempunyai peran pentinga dalam kehidupan kenegaraan Indonesia yang multikultural ini. Kemajemukan semacam ini harus juga diperkokoh sebagai ciri chas dan nilai-nilai luhur yang juga harus dihormati, baik dalam beragama, maupun bermasyarakat.
Ini lah pemikiran Cak Nur yang akan di bahas dalam makalah ini. Dan memang, pembahasan ini sangat perlu di bahas didepan para mahasiswa. Karena semangat keIndonesiaan Cak Nur cukup lah sebagai inspirasi untuk lebih memajukan bangsa ini.
Sesuai dengan pemikiran Cak Nur dalam buku Islam Kemoderenan dan KeIndonesiaan, bahwa dalam mengembankan suatu masyarakat tidak lah cukup hanya mengikuti gerakan alamiah. Di sana butuh rangsangan-rangsangan, dorongan-dorongan, agar mengarah pada perkembangan itu. Makalah ini pun dibuat dengan tujuan untuk merangsang emosional kaum muda untuk teruk berkreativitas menggiring bangsa ini pada kemajuan yang hakiki.
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid (Cak Nur)
Nurcholish madjid kerap dipanggil dengan nama Cak Nur. Cerita awalnya penulis tidak tahu secara mendetail. Ia dilahirkan di jombang, 17 maret 1939.
Sekitar umur belasan tahun, Ia mengawali belajarnya di KMI Pesantren Gontor Ponorogo dan menjadi alumni sekitar tahun 1960. Kemudian melanjutkan belajarnya di perguruan tinnggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekitar tahun 1968, dan meraih gelar doktor (Summa Cum Laude) dari Universitas Chicaho di AS 1984 dengan desertasi yang berjudul “Ibn Taimiyyah on Kalam And Falsafah”.
Pada tahun 1966-1971, ia sempat menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua priode. 1967-1969 sebagai presiden persatuan mahasiswa islam asia tenggara serta wakil sekjen IIFO (internasional islamic federation of students organisation). Pemimpin umum majalah mimbar jakarta (1971-1974). Pernah menjadi guru besar tamu di mc gill university montreal, canada 1991-1992.
Ia juga salah satu pendiri yayasan paramadina yang merupakan lembaga keagamaan yang dengan tegas menyadari keterpaduan antara keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai islam yang universal, berkaitan dengan tradisi lokal indonesia.
B. Sekilas Tentang Budaya Islam
sejak tampilnya Islam di muka bumi, sejak itu juga Islam mulai menggoreskan nilai-nilai budaya yang mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat arab dari berbagai segi, baik politik dan keilmuan atau intelektualitas.
Dari segi politik, Rasulullah telah mengajarkan bagaimana memerintah suatu negara, mengayomi masyarakat, bekerjasama dengan negara lain dan bagaimana menyelesaikan masalah yang memang diarahkan pada musyawarah, sebagaimana dijelakan dalam al Qur’an dan hadis[1]. Tidak hanya itu, dalam perkembangan selanjutnya –masa sesudah nabi sampai kepenyebaran Islam- pergulatan politik antar umat Islam pun juga terjadi sebegitu dahsyatnya. Misalkan saja pertempuran politik antara pengikut Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, dan Ahl al Syura.[2] Pergulatan ini menujukkan bahwa budaya politik Islam sangat tinggi, sehingga terbentuklah kekokohan dan kedewasaan politik Islam.
Dalam intelektual, Islam memang mempunyai budaya intelektual yang hebat. Terbukti dengan mencuatnya argumentasi-argumentasi rasional tentang kajian keagamaan dan juga kehidupan sehari-hari. Perbedaan pandangan tentang keagamaan dan kehidupan memang mengakibatkan munculnya pertarungan yang cukup hebat, yang kemudian sampai melahirkan sekte-sekte dalam tubuh Islam sendiri.
Meskipun telah mengurbankan banyak hal, harta, keluarga dan nyawa sekalipun, namun pertikaian itu telah melahirkan kekayaan intelektual Islam yang sangat agung. Dalam hal ini, semua umat manusia di jagat raya harus mengakui bahwa itu lah awal tampaknya kiblat intelektual dunia.
Pada kemudian hari, tradisi-tradisi itu melahirkan para pemikir-pemikir dunia dalam berbagai aspek yang sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan berikutnya. Para pemikir itu di antaranya imam Syafi’e (pencetus metodelogi hukum terhebat)[3], Ibnu Sina (failasuf dan bapak kedokteran dunia) al-Ghazali (failasuf sekaligus sufi terkemuka), Ibn Rusy (failasuf rasionalis yang begitu berpengaruh di barat)[4], Ibn Khaldun (bapak sosiolog dunia) dan lain-lain.
Namun, kejayaan itu mulai hancur ketika masyarakat Islam terlalu menikmati kemenangan itu, dan merasa terlalu hebat untuk dikalahkan bangsa lain. Pantas lah kalau mereka merasa terkejut ketika Napoleon –dengan peralatan dan teknologi yang begitu canggihnya- menyerang kekuasaan Islam di Mesir. Barangkali kalau didramatisir menjadi seperti ini “wah, ternyata ada ya bangsa lain yang lebih canggih dari masyarakat Islam”.
C. Islam ke-Indonesiaan
Dalam hal ini, Cak Nur merumuskan secara segar tentang nilai-nilai Islam yang melekat pada puing-puing bangsa Indonesia.
a. Nilai-nilai Keindonesian
Suatu kemutlakan yang tak terelakkan bahwa bangsa ini mempunyai nilai-nilai yang termaktub sepenuhnya dalam pancasila. Pancasila merupakan ejawantah dari masyarakat indonesia yang majemuk. Ini adalah nilai-nilai luhur yang amat sangat cocok dengan bangsa indonesia, namun sebagai ideologi bangsa, tentunya tidak relevan jika pancasila ditafsikan sekali untuk selamanya.
Pancasila sebagai acuan bangsa yang mengandung nilai-nilai luhur kebangsaan dan sudah mencakup kebenikaan Indonesia sangatlah mapan untuk menjadi pemersatu bangsa ini. Dalam artian, seluruh aktivitas yang mendiaminya seharusnya mengarah pada suatu konvergensi nasional dengan penuh optimistik. Konvergensi ini adalah sautu hasil bentuk saling pengertian dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima. Memberi dan menerima itu sendiri, pada suatu urutannya, berakar dalam kemantapan masing-masing kelompok kepada diri mereka sendiri, atau, secara negatifnya, timbul dari hilangnya berbagai kekuatiran antar kelompok.
Hal yang menarik dalam interpretasi cak nur tentang sila pertama yaitu bahwa sila tersebut seharusnya bukan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, melainkan “Taqwa dan Ridla Tuhan” sebagai semangat keislaman. Namun, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan tentang kepermanenan itu, hanya saja, dalam penafsirannya lebih ngena dengan tafsiran taqwa dan ridla Tuhan.[5]
Tidak hanya itu, nilai-nilai keindonesiaan yang bisa ditarik dari ideologi pancasila di atas ialah tentang nasionalme dan kosmopolitisme.
Cak Nur, mengemukakan definisi nasionalisme ini sebagai bentuk kenegaraan, kesatuan bahasa dan budaya, kesatuan warisan umum, kesatuan wilayah, perwujudan adanya tujuan bersama dan perwujudan upaya penentuan nasib sendiri. Secara khusus nasionalisme indonesia termaktub dalam keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan militer, kemudian pengalaman pembangunan ekonomi secara pragmatis dan pluralisme.[6]
Indonesia pasti mempunyai masa lalu, budaya-budaya nenek moyang. Masa lalu itu memang tentu tetap relevan untuk dikenang dan disadari sebagai sumber inspirasi dan bahan penumbuhan rasa kesinambungan dan kelestarian historis. Namun yang lebih penting dari itu ialah langkah yang lebih berani untuk menghadapi masa depan.
b. Tradisi Islam Sebagai Sumber Substansi Ideologi
Pancasila merupakan titik temu dari segala perbedaan setiap warga negara baik dari budaya, kemasyarakatan maupun agama. Menurut Cak Nur, pencarian titik temu ini merupakan bagian dari tradisi islam. Dalam ajaran islam, pencarian titik temu antara berbagai agama merupakan hal yang tidak baru, karena itu juga merupakan perintah.[7]
Di sisi lain, islam sudah melahirkan metode hukum yang disebut ushul fiqh. Kajian ini juga mentradisikan suatu pencarian titik temu yang paling mendasar –tentunya yang dipandang baik untuk semua- sebagai salah satu langkah memutuskan suatu hukum.
c. Islam Inklusif
Tema islam inklusif ini adalah tema yang sangat sering tampil di permukaan. Jelas sudah tidak asing lagi di benak para pembaca. Hanya saja, tetap dibutuhkan penjabaran sebagai pelurusan atau pendalaman tentang makna yang harus dinikmati bersama menuju kemajuan bersama.
Daftar Pustaka
Madjid, Dr. Nurcholis, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta; Paramadina, cet. iii, 1995
_________________, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta; Paramadina, cet.i, 1997
_________________, Tradisi Islam, Jakarta; Paramadina, cet. I, 1997
_________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung; Mizan, cet. i, 1987
[1] Dr. Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta; Paramadina, cet. iii, 1995), h. 252
[2] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta; Paramadina, cet.i, 1997), h. 2
[3] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 67
[4] Dr. Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 105
[5] Dr. Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, (Jakarta; Paramadina, cet. I, 1997), h. 55
[6] Dr. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung; Mizan, cet. i, 1987), h. 38
[7] Dr. Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, h. 24
Post a Comment for "Lintas Pemikiran Nurcholis Madjid"