Titik Temu Filsafat Ibnu Rusyd dan al Ghazali
Oleh Hairus Saleh
Dalam catatan sejarah, Ibn Rusyd dan al Ghazali menunjukkan suatu perbedaan pendapat yang sangat signifikan sehingga pemikiran keduanya dinilai tidak dapat dipertemukan. Namun, bukan berar tidak ada ruang persama dari pemikirannya yang menjadikan pemikiran keduanya akur. D sinilah kita akan membahas titik temu filsafat Ibnu Rusyd dengan al Ghazali.
Dalam catatan sejarah, Ibn Rusyd dan al Ghazali menunjukkan suatu perbedaan pendapat yang sangat signifikan sehingga pemikiran keduanya dinilai tidak dapat dipertemukan. Namun, bukan berar tidak ada ruang persama dari pemikirannya yang menjadikan pemikiran keduanya akur. D sinilah kita akan membahas titik temu filsafat Ibnu Rusyd dengan al Ghazali.
Perbedaan pemikiran itu mengakibatkan terciptanya suatu perdebatan sengit antara keduanya. Perdebatan tersebut tergores dalam suatu karya yang berjudul tahaffut at al falasifah (al Ghazali) dan tahafut attahafut (Ibn Rusyd). Kedua karya ini merupakan karya yang sangat istimewa, karena mereka lah yang banyak mempengaruhi pemikiran berikutnya, bahkan samapai sekarang pengaruh pemikiran kedua tokoh tersebut masih tampak begitu jelas.
Perdebatan itu bukan merupakan hal yang buruk. Tetapi keadaan seperti itu sangat menunjang terwujudnya suatu pemikiran baru, kreatif dan menjadiakan pemikiran Islam semakin mengkilau di mata dunia. Kegemilauan ini tampak dari terpesonanya non muslim terhadap variasi pemikiran Islam sehingga ia harus menerima pengaruh pemikiran mereka dalam kegiatan berpikir, terutama yang sangat mempengaruhi cara beropikir mereka adalah Ibn Rusyd.
Sepak terjang pemikiran keduanya bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, tentang status kekekalan alam. Al Ghazali mengatakan bahwa alam tidak qodim seperti yang diucapkan filusuf, namun tercipta dari ketiadaan menjadi ada. Tidak ada alasan mengatakan bahwa alam qodim, kata lain alam adalah baru. Kalaupun alam harus qodim, pada akhirnya akan terkesan terdapat sejumlah keqodiman yang merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi dalam tatanan ketuhanan.
Namun, hal itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Ia mengatakan bahwa alam adalah qodim. Namun keqodiman alam bukan seperti keqodiman tuhan. dalam artian, qodimnya alam merupakan keadaan alam yang diciptakan dari bahan yang telah ada sebelumnya dan tercipta sebelum adanya waktu. Sedangkan qodim tuhan tidak adalah qodim murni yang paling awal dan tak berawal.
Ibnu rusyd tampaknya menilai terciptanya alam tersebut pada substasi alam itu sendiri. bahan pembentuk dunia yang ada sebelum terbentuknya waktu dianggap sebagian dari alam. Sedangkan sesuatu yang ada sebelum lahirnya waktu merupakan hal yang qodim, sehingga alam pun juga pasti qodim. Karena setiap yang terbuat dari sesuatu yang qodim maka hasilnya sama seperti pembentuknya.
Baca juga: Objek-objek Filsafat
Baca juga: Objek-objek Filsafat
sedangkan al Ghazali memandangnya dari segi material. Alam menurutnya adalah hanya seperti apa yang manusia rasakan sekarang, yaitu yang terbentuk berbarengan dengan waktu. Sedangkan unsure-unsur pembentuk alam itu sendiri tidak dikategorikan sebagai alam. Pada akhirnya ia secara langsung atau tidak mengatakan bahwa alam itu baru, karena berbarengan dengan waktu.
Jadi tidak ada masalah yang akurat dalam pandangan keduanya kecuali hanya terdapat suatu perbedaan cara pandang saja. Perbedaan sudut pandang itu sangat dipengaruhi oleh latar belakan keilmuan yang berbeda yang menuntu perbedaan keyakinan tentang apa yang ia pikirkan. Al Ghazali yaqin bahwa pemikiran tentang definisi alam yang ia definisikan itu lah yang benar. Sedangkan Ibn Rusyd pun demikian.
Kedua, kedudukan pikiran/akal. Dalam permasalah ini, al Ghazali lebih merendahkan akal dari pada wahyu. Hal tampak pada penyataannya bahwa akal harus mengalah dikala penemuan akal dan yang terdapat dalam wahyu bertengana. Artinya, akal menjadi tak berdaya ketika berhadapan dengan wahyu, akal hanya menjadi alat menangkap mahsud atau sekedar tahu isi wahyu. Selebihnya, akal tidak berhak bergerak sebebas mungkin. Akal dibelenggu oleh wahyu., bahkan bisa jadi bukan terbelenggu oleh wahyu tetapi lebih cenderung terbatasi oleh interpretasi manusia saja.
Beda halnya dengan pandangan Ibn Rusyd yang lebih mengangkat derajat akal menjadi satu level dengan wahyu. Antara akal dan wahyu tidak mungkin terdapat suatu pertentangan di antara keduanya. Hanya saja cara untuk mendapatkan kebenaran yang berbeda. Akal mendapatkan kebenaran melalui berpikir dan berenung. Sedangkan wahyu didapatkan dari imajinasi yang cukup kuat dan itu tuangan langsung dari tuhan.
Perbedaan tersebut tidak lain karena perbedaan sudut pandang tadi. ketika mengatakan bahwa akal sangat begitu terbatas sedangkan wahyu tak terbatas sehingga tak selamanya akal bisa menjangkau maksud wahyu, al Ghazali menyamaratakan seluruh akal, baik akal filosuf ataupun bukan, baik pemikiran yang melalui cara yang benar ataupun yang salah. Hal ini merupakan suatu bentuk kehati-hatiannya. Ia lebih menghindar dari kesalahan dari hasil akal. Karena memang akal sering dipengaruhi toleh ego, nafsu manusia.
Namun Ibn Rusyd terlihat sangat optimis dengan kekuatan akal yang dimiliki manusia. Karena memang titik fokusnya pada penerapan berpkir benar. Hal itu sangat berdasar sekali, karena sebelum adanya kitab-kitab suci, manusia dengan sendirinya mampu mencari kebenaran.
Terakhir adalah pandangan terhadap hukum kausalitas. Al Ghazali sungguh menulak hukum kausalitas. Ia mengatakan sangat tidak mungkin sesuatu terjadi murni disebabkan oleh sesuatu yang lain selain tuhan juga berperan. Artinya, tuhan juga berperan sangat penting atas terjadinya segala sesuatu. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua kejadian desebabkan benda lain, banyak kejadian yang ada di luar hukum kausalitas. tidak ada kemutlakan dalam hukum sebab akibat. Karena di saming kejadian disebabkan penyebab tuhan juga yang menjadikan kejadian itu terjadi.
Ibnu rusyd sangat yakin bahwa kejadian merupakan sudah menunjukkan adanya hukum kausalitas, sehingga manusia bisa memprediksi kejadian berikutnya sesuai hukum kausalitas yang berlaku. Misalkan buku akan terbakar jika ditaruk di atas api. Selamanya akan terus demikian dan manusia bisa meramal bahwa ketika buku diletakkan di atas api ia akan terbakar. Dengan demikian manusia bisa menghindar dari keadaan tersebut jika tidak ingin bukunya terbakat. Terbakarnya buku ini tidak ada campur tangan tuhan tetap ini sudah merupakan hukum alam yang tidak bisa digangu gugat.
Kalau kita analisis hakikat hukum kausalita itu sendiri bahwa ia adalah suatu kesimpulan dari dua kejadian. Misalkan, gelas jatuh maka ia pecah. Dalam keadaan ini sebenarnya terdapat dua kejadian. Pertama gelas jatuh dan gelas pecah. Kedua kejadian tersebut tidak bisa dicampur aduk, karena itu adalah dua kejadian yang berlainan. Sedangkan hukum kausalitas adalah hasil kesimpulan dari dua kejadian tersebut, sehingga kalau dua kejadian kita simpulkan akan menjadi gelas dijatuhkan, maka ia pasti akan pecah.
Perbedaan hasil dari suatu penyeban kejadian itu dikarenakan adanya penyeban diluar kejadian itu. Sehingga perbedaan hasil juga disebabkan adanya suatu sebab yang pasti berbeda pula. Keadaan ini tidak lain adalah kesimpulan dari dua kejadia tersebut. Kesimpulan tersebut adalah sebuah usaha manusia memahami hukum alam, memantai, mengendalikan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Adapun tetap terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan adalah karena ada sebab yang tidak seperti biasa, dengan kata lain ada sebab lain yang merasuk dalam sebab awal.
Post a Comment for "Titik Temu Filsafat Ibnu Rusyd dan al Ghazali"