BANTAHAN TERHADAP PERNYATAAN AL-QUR'AN KITAB HOAX
Kebenaran al-Qur’an
bagi umat Islam sudah tidak diragukan lagi. Pasalnya al-Qur’an dinilai sebagai
sebuah kitab murni karya Tuhan, sehingga kebenarannya adalah mutlak. Namun
kenyataannya terdapat ayat-ayat hoax yang tertulis di dalamnya.
Al-Qur’an sebagai
kitab suci ilahi, tampil sebagai sebuah karya agung luar biasa. Kebenaran
al-Qur’an tidak dapat diragukan serta tidak memerlukan pembuktian. Keimanan
umat islam akan mengantarkannya kepada pengakuan akan kebenaran mutlaknya. Maka
sesungguhnya keyakinan akan kebenaran al-Qur’an menjadi syarat hadirnya
keimanan seseorang.
Kitab Suci al-Qur'an |
Keyakinan akan
kebenaran tersebut bukan tidak berlandaskan. Terbukti terdapat ayat-ayat yang
selaras dengan penemuan-penemuan sains kontemporer. Seperti QS: Al-Anbiya (21)
ayat 33 “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan
bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya.” Ayat tersebut
selaras dengan teori fisika tentang peredaran planet-planet. Bahwa planet-planet,
bulan dan matahari masing-masing berjalan sesuai dengan garis-garis orbitnya
masing-masing seperti yang dikatakan oleh Johannes Kepler dalam hukum gerak
planet. Penemuan-penemuan sains tersebut menjadi legitimasi bagi keyakinan akan
kebenaran hakiki dari al-Qur’an. Pembuktian secara ilmiah dari ayat-ayat cukup
menjadi daya tarik untuk semakin memperkuat keyakinan akan kebenaran seluruh
isi al-Qur’an.
Kecenderungan ideologis
umat Islam terhadap kebenaran al-Qur’an telah menjadikannya tidak objektif dalam
menilai dan menangkap kebenaran. Kecenderungan ideologis membuat manusia tidak
kritis dan cenderung mudah salah dalam menilai kebenaran (Ibn Khaldun).
Terbukti bahwa di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah bohong seperti kisah Ashhâbul
Kahfi. Meskipun keberadaan fakta-fakta sejarah dari cerita ini tidak dapat
ditunjukkan, namun umat Islam menganggap kisah itu benar. Kisah Ashhâbul
Kahfi merupakan suatu kisah yang fakta-fakta sejarah tersebut tidak dapat
ditunjukkan. Tidak satu pun kitab sejarah yang menuliskan tentang keberadaan
kisah tersebut. Bahkan tidak satu pun ditemukan bukti ilmiah mengenainya.
Republik mencoba
membantahnya dengan mengungkap hasil penemuan arkeologis berupa penemuan
tulang-tulang dalam gua di Amman yang diduga sebagai tulang para pemuda
tersebut. Namun, penemuan arkeologis tersebut tidak dapat menunjukkan bukti
ilmiah yang menunjukkan bahwa tulang tersebut benar-benar milik para pemuda
yang dimaksud dalam al-Qur’an. Karena dalam gua tersebut juga ditemukan tulisan
khat khufi yang merupakan khat zaman Khomarumiah bin Ahmad Tholun dari Kerajaan
Abbasiyah. Serta ditemukan sebuah makam yang terdapat bintang segi delapan yang
membuktikan tanda zaman Kerajaan Rum-Byzantium pada kurun ke-3 M. Bisa saja
tulang-tulang tersebut merupakan milik rakyat Abbasiyah atau orang kristen yang
dikubur di gua itu pada zaman kerajaan Byzantium.
Cerita Ashhâbul Kahfi
ini tidak memenuhi syarat kebenaran, mengingat kebenaran merupakan kesesuaian
antara pembawa kebenaran dengan realitas eksternal atau fakta. Ada pun fakta
menurut bertand russel ialah segala yang ada di dunia, dapat dialami dan
ditangkap oleh pancaindra. Bahkan menurut Karl Marx cerita-cerita semacam Ashhâbul
Kahfi tidak dapat memberikan dampak apapun terhadap problematika kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu cerita
tentang Ashhâbul Kahfi dapat dikatakan sebagai cerita hoax yang ada
dalam al-Qur’an. Fakta ini turun menjadi kredit poin bagi klaim al-Qur’an kitab
hoax. Ahmad Khalafullah, seorang peneliti Mesir, mengatakan bahwa cerita Ashhâbul
Kahfi yang tertuang dalam al-Qur’an adalah cerita bohong belaka, karena
tidak ada fakta sejarah yang mendukung kebenaran cerita tersebut. Bahkan ia
menyebutkan bahwa cerita tersebut tidak jelas, karena nama, waktu dan tempatnya
tidak disebutkan secara detail.
Namun kebenaran
tidak hanya dapat diukur menggunakan korespondensi, kebenaran dapat pula diukur
menggunakan teori lain. Misalkan diukur oleh kesesuaian dengan teori-teori lain
yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, seperti teori tentang seni.
Ketika al-Qur’an dinilai sebagai kitab seni, tampaknya pembuktian kebenarannya
pun menjadi berubah. Kebenaran cerita Ashhâbul Kahfi bukan terletak pada
keberadaan fakta dari cerita tersebut, melainkan terletak pada dampak
psikologis terhadap para pembaca dan pendengarnya. Bahwa cerita tersebut tidak
dibuat sebagai refleksi terhadap realitas, melainkan cerita hikmah yang mengandung
petunjuk bagi umat manusia.
Kisah Ashhâbul Kahfi
dapat dikatakan sebagai cerita hoax dalam al-Qur’an jika dipandang dari sudut
pandang teori empirisme. Namun menjadi benar manakala dipandang dari sudut
pandang seni. Mengukur teori Ashhâbul Kahfi menggunakan teori empirisme
berupa korespondensi adalah tidak tepat, karena cerita tersebut memang
ditujukan hanya sebagai petunjuk yang bentuk psikologis bagi umat manusia.