Sang Tokoh Neoplatonisme
Pendahuluan
Filsafat
Plotinus adalah filsafat tentang “Yang Satu”. “Yang Satu” dalam puncak wujud,
dan lebih tinggi dari padanya. Dari Yang Satu itu keluar akal, dan dari akal
keluar jiwa. Demikianlah Plotinus memulai dengan trinitas yang terus
berkembang, dan puncaknya adalah “Yang Satu”. Inilah yang membedakan filsafat
Plotinus dari filsafat Plato dan Aristoteles. Sedangkan pengertian “Yang Satu”
menurut plotinus tidak begitu jelas dan tegas. Kadang-kadang ia difahami
sebagai Allah, kadang-kadang difahami sebagai kebaikan, dan kali yang lain
difahami sebagai yang ketiga dari yang awal. Apapun adanya “Yang Satu” itu
kebih tinggi dari wujud (being).
Plotinus Photo from Wikipedia |
“Sesungguhnya
aku kadang-kadang menyendiri dengan jiwaku. Aku melepaskan badanku, akupun
masuk ke dalam zatku, kembali kepadanya seraya keluar dari segalanya. Maka
jadilah aku ilmu (pengetahuan), ‘âlim (yang mengetahui) dan ma’lûm (yang
diketahui). Maka aku pun melihat kebaikan, keindahan dan sinar terang pada
zatku, sesuatu yang aku kagumi. Aku pun tahu bahwa aku merupakan bagian dari
alam Ilahi utama dan mulia yang memiliki kehidupan aktif. Ketika aku yakin
terhadap semua itu, aku pun menaikkan zatku dari alam itu ke alam ilahi, aku
pun selalu menjadi jatuh ke dalamnya, terikat dengannya. Aku berada di atas
alam rasional seluruhnya. Aku pun melihat seolah aku berada pada posisi
keilahian yang mulia itu. Di sana aku melihat sinar dan keagungan yang tidak
dapat dideskripsikan lisan dan tidak pernah didengar oleh telinga. Bila aku
tenggelam dalam cahaya dan keagungan itu, aku tidak mampu menanggungnya,
jatuhlah aku dari akal ke ide dan pandangan. Bila aku berada di alam ide dan
pandangan, aku pun terhalang–oleh ide itu–dari cahaya dan keagungan tersebut.
Aku pun menjadi heran bagaimana aku dapat terjatuh dari kedudukan tinggi Ilahi
dan menjadi berada pada posisi ide…”
Filsafat
Islam mengenal Plotinus dari buku ini. Akan tetapi kadang-kadang buku tersebut
disalah fahami penisbatannya kepada Aristoteles. Hal itu disebabkan karena
penyelarasan antara dua orang bijak, Plato dan Aristoteles, yang dimulai dari
al-Farabi sampai Ibnu Sina. Mereka ini mengatakan tentang tingkatan-tingkatan
wujud dan keberasalannya dari yang pertama.
Riwayat hidup
Plotinus
Dari banyak literatur, dijelaskan bahwa tokoh pendiri
sekaligus tokoh yang paling populer dalam Neoplatonisme adalah Plotinus
(205–270). Bahkan karena Plotinus begitu identik dengan Neoplatonisme, tokoh
Plotinus tidak dapat ditinggalkanDari banyak literatur, dijelaskan bahwa tokoh
pendiri sekaligus tokoh yang paling populer dalam Neoplatonisme adalah Plotinus
(205–270). Bahkan karena Plotinus begitu identik dengan Neoplatonisme, tokoh
Plotinus tidak dapat ditinggalkan.
Adalah tidak mudah untuk mengetahui riwayat hidup Plotinus
secara rinci. Menurut muridnya Porphyri, Plotinus adalah sosok pemalu yang
seringkali menolak untuk menceritakan dirinya, orang tuanya maupun negerinya.
Menurut banyak literatur, Plotinus hidup pada tahun 205 sampai 270 Masehi. Ia
dilahirkan di Lycopolis Yunani. Meski namanya harum karena ajaran-ajarannya ia
tidak mau menjadi orang yang terkemuka. Patungnyapun tidak ada sebagaimana
orang-orang terkenal pada waktu itu. Banyak sekali tukang patung datang untuk
membuat patungnya tetapi selalu ditolaknya. Meskipun namanya tersohor
dimana-mana tetapi hidupnya sederhana sekali.[1]
Plotinus belajar filsafat pada umur 28 tahun. Pada seorang filosof
yang menjadi gurunya, Ammonius Saccas. Selama 12 tahun Plotinus menjadi murid Ammonius. pada umur 29 tahun ia
mulai menulis. Setelah memahami filsafat Plato, rupanya Plotinus merasa pengetahuannya
belum cukup mendalam. Ketika berumur 39 tahun dia terlantar di roma, dan mendirikan sekolah setelah setahun tinggal
disana.
Pembentukan Alam (Materi)
a. Tuhan
Sang sumber segala sesuatu, yang
dinamakannya “ Tuhan”, Yang Satu, adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan,
mirip dengan Parabrahman, dalam ajaran Hindhu. Ia adalah sesuatu yang tidak
dapat dinamakan, tidak dapat dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan
logika negatif (via negativa).[2]
Karena tidak bisa dinamakan maka” Tuhan”, pun sebenarnya bukan nama yang layak.
Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari
pemakaian kata-kata.
Konsep” Tuhan”, tidak sama dengan
konsep Tuhan dalam ajaran monoteisme, ” Tuhan”, bukan sesuatu dengan daya kreatif yang
menciptakan alam semesta. Alam semesta mengalir, atau memancar darinya sebagai
sebuah keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan
segala sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu memancar
dari dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat seperti materi
penciptaan alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari “tubuhnya” ia
menciptakan alam semesta, seperti yang dijelaskan oleh mitologi Babilonia
misalnya, yang mengatakan bahwa alam semesta dibentuk dari Tiamat, naga raksasa
yang mengandung semua dewa. Pandangan ini lebih baik dijelaskan seperti
hubungan antara penari (sang pencipta) dengan tariannya (ciptaan). Atau
bayangkan sang pencipta adalah seorang pemain musik, dan musiknya adalah
ciptaannya.
Kehendak bebas dalam konsepsi Plotinus
diletakkan bukan di ” Tuhan”, melainkan di Nous, yang akan dijelaskan lebih
lanjut di bawah.
Pandangan ini juga bisa dilihat dari
kacamata Panteisme. Panteisme Plotinus kurang lebih sama dengan panteisme
Spinoza. Panteisme tidak dilihat dengan pandangan sempit bahwa alam adalah
Allah. ” Tuhan”, ada dalam setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah ” Tuhan”,.
Ciptaan sebagai pancaran dari ” Tuhan”,, seperti bayang-bayang dari dia, yang
lebih tidak sempurna darinya. Dan ketidak sempurnaan ini bertingkat-tingkat
sampai kepada hirarki yang paling bawah yaitu materi.
Emanasi ini jangan dilihat sebagai
sesuatu yang berada di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu justru adalah
hasil dari emanasi. Ruang dan waktu adalah pengertian dari dunia materi yang
merupakan emanasi terakhir.
b. Nous
Nous atau intelek atau akal adalah
emanasi pertama dari ” Tuhan”, Sebagai emanasi yang paling dekat dengan ” Tuhan”. Ia memiliki kemampuan
untuk berkontemplasi tentang ” Tuhan”. Ia adalah sesuatu yang bisa memikirkan
tentang subjek, yaitu dirinya sendiri, yang sedang berpikir, dan objek, sesuatu
yang sedang dipikirkan.[3]
Sebagai emanasi dari ” Tuhan”, ia
kurang sempurna dari ” Tuhan”,. Nous, tidak lagi satu, melainkan telah
mengalami keterpisahan satu sama lain. Ia benar dalam dirinya sendiri, dan
mutlak pada dirinya sendiri, seperti yang terlihat dari fenomena suara hati.
Keterpisahan inilah yang melahirkan otonomi.
Nous sebagai prinsip yang otonom,
berdikari. Keotonoman ini melahirkan kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi ke
atas ke ” Tuhan”, namun ia juga bisa “jatuh” ke bawah, menuruti psykhe.
Terlihat di sini kalau Plotinus mau memasukkan konsep jatuhnya Adam ke dalam
dosa ke dalam filsafatnya. Bedanya, ia tidak meletakkan label dosa pada proses
jatuhnya nous ke psykhe, melainkan sekedar sesuatu yang alami yang merupakan
keniscayaan kehidupan yang beremanasi dari ” Tuhan”,
c. Psykhe
Emanasi yang pertama dari ” Tuhan”, adalah
dasar yang pertama (arkhe) yaitu nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi
(topos), yaitu psykhe. Lokasi memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi
memiliki tempat. Psykhe ini berfungsi seperti benih yang melahirkan materi,
oleh karena itu ia dinamai logoi spermatikoi.
Psykhe adalah prinsip di pertengahan.
Ia mampu berkontemplasi ke atas, memberikan informasi dari dunia materi kepada
nous, dan di lain pihak secara aktif beremanasi ke bawah, menciptakan dunia
materi.[4]
Psykhe ini bisa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri
dengan dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia dijelaskan oleh Plotinus
dengan menggunakan nous dan psykhe ini. Ia memang bisa berkontemplasi ke ” Tuhan”,
karena ia memiliki nous, tetapi ia juga memiliki tarikan ke bawah ke materi
karena ia memiliki psykhe.
Psykhe (atau jiwa) di sini tidak sama
dengan jiwa dalam pengertian Plato. Jika Plato melihat bahwa jiwa terpenjara
dalam tubuh dan baru bisa dibebaskan dengan kematian. Plotinus sebagai seorang
mistikus, melihat kemungkinan bahwa jiwa bisa melepaskan diri dari tubuh.
Psykhe secara hirarkis berada di atas materi, sehingga ia mampu menguasai
materi.
d.Materi
Materi adalah emanasi terakhir yang
paling jauh dari ” Tuhan”. Ia adalah emanasi dari jiwa dunia (anima mundi).
Materi yang berada di hirarki terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan
dari atas. Ia karena sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministik.
Materi tidak sepenuhnya jahat. Ia
jahat kalau dilihat dari hubungannya dengan prinsip di atasnya. Menurut
Plotinus, sumber kejahatan adalah keinginan psykhe untuk terus mencipta. Ini
juga bukan sesuatu yang dikatakan dosa, karena psykhe memang memiliki
kecenderungan seperti itu. Karena keterikatannya pada materilah psykhe lupa
pada ikatannya di atas, kepada nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh orang
yang sudah terperangkap oleh nafsu sehingga tidak bisa berpikir rasional.
Plotinus dengan ajaran emanasinya
tidak menjelaskan sumber kejahatan berasal juga dari sang pencipta, seperti
halnya ajaran Gnostik, yang melihat alam ini jahat karena Demiurgos, sang
pencipta alam semesta, adalah jahat. Plotinus memotong akar kejahatan sampai
pada psykhe saja. Pada nous sendiri sudah tidak ada kejahatan, yang ada hanya
keterpisahan.
Katharsis
Seperti telah dikatakan sebelumnya,
Plotinus juga adalah seorang mistikus dan mengklaim mengalami pengalaman mistik
di dalam hidupnya. Dengan demikian ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat
namun mencari jalan untuk kembali ke” Tuhan” atau bisa disebut dengan proses pencerahan (katharsis).
Materi sebagai bagian yang paling jauh
dari ” Tuhan” adalah bagian yang paling “gelap” atau jahat. Di sini terlihat
pengaruh aliran Gnostik yang melihat dunia sebagai dualisme yang mengatakan
bahwa materi pada dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang
menerima penciptaan dari atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di
atasnya (yaitu psykhe) ke bawah.
Dengan demikian, usaha katharsis yang pertama adalah melawan
materi, yang dalam prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam
bahasa Latin ini disebut dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan
diri dari materi.[5]
Hal ini adalah persiapan untuk
melakukan langkah kedua, yaitu pencerahan. Pengaruh filsafat timur terlihat di
sini. Pencerahan artinya melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi
diri dengan pengetahuan tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan
Aristoteles, yaitu episteme.
Langkah yang terakhir, adalah
penyatuan diri dengan ” Tuhan”,, yang diberi nama ekstasis oleh Plotinus.
Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi keterpisahan atau diferensiasi dari
Nous, yang melihat diri sebagai subjek. Jika ia bisa mengatasi batasan diri
ini, dengan melihat bahwa aku sama dengan dia, sama dengan semua, dengan
demikian juga adalah ” Tuhan”. Di sinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya
adalah seorang mistikus, dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk menuju
ke sini. Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain, baik
dari tradisi Timur Hindu Buddha, tradisi Barat, atau pun yang di Kejawen
dikenal dengan manunggal ing kawulo gusti, menyatu dengan Allah.
Daftar Pustaka
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakatrta; Gramedia, 2005
Simon Petrusl,
Tjahjadi, Petualangan Intlektual,
Yogyakarta; Kanisius, 2004
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat
Barat, penerjemah; Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta; Pustaka Belajar, cet
iii, 2007
[1] Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta : Tintamas dan UI
Press, 1986) hlm. 165.
[2] Simon Pertus L. Tjahjadi, petualangan Intelektual,
(Yogyakarta: Kanisius, cet v, 2008), h. 91
[3] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, penerjemah; Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta; Pustaka Belajar, cet iii, 2007), h. 394
[5] Simon Pertus L. Tjahjadi, h. 92
Post a Comment for "Sang Tokoh Neoplatonisme"