Posisi Kebijakan Kriminal dalam Kebijakan Sosial
Resume
A. Makna Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, di mana perbautan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana.
Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan kriminal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan kebijakan-kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan, pidana bukan merupakan suatu keharusan.
Kebijakan kriminal selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, di antaranya: pertama, keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasu di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Ketiga, keseluruhan kenijakan, yang bertujuan ntuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ini berarti bahwa kebibajakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masayarakat dalam menanggulangi kejahatan.
B. Keterkaitan Politik Kriminal dengan Politik Sosial
Untuk mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana panel, tetapi juga harus melibatkan usaha non-panel yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkata usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus-menerus oleh polisi, aparat keamanan dan sebagainya.
Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non panel ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu. Karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci yang harus diintegrasikan.
Alasan terpanting dari pernyataan di atas, bahwa pada realitasnya, kejahatan itu muncul disebabkan oleh ketimpangan sosial, dikriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, penganguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk.
C. Kebijakan Kriminalisasi Pemidanaan
Dalam perkembangan pemikiran determinisme, bahwa tingkahlaku seseorang itu diperngaruhi oleh watak pribadi, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungannya. Dengan demikian, kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya, diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan. Kejahatan juga dipandang sebagai perujudan ketidakhormatan atau ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan sikap mengobati.
Pemikiran ini menjadi dasar hukum pidana fungsional, yaitu hukum pidana tidak hanya berfungsi memberikan nestapa bagi pelanggaran hukum, tetapi juga mengatur masyarakat agar hidup lebih adil, damai dan tentram. Penerapan hukum pidana ini tidak harus berujung dengan penjatuhan pidana. Tetapi bisa dengan sanksi tindakan yang dikenal dengan pardon.
Berdasarkan yang ada, hukum pidana dalam politik kriminal bertujuan untuk mencegah dan bukan untuk pembalasan. Dengan demikian, sistem hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah terhadap kejahatan, bukan sebagai perujudan pencelaan moral.
Untuk mewujudkan kebijakan suatu sanksi pidana dapat malalui tiga tahap, diantaranya: penetapan pidana oleh pembuat undang-undang. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan. Tahap pelaksanaan oleh pelaksana pidana yakni aparat eksekusi pidana.
Dalam hukum pidana, selain unsur kesalahan dan melawan hukum, maka penting pula untuk merumuskan atau menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yakni subsosialitas, sehingga menempatkan ilmu hukum pidana ketataran sosial politik.
D. Kebijakan Legislatif tentang Pemindanaan
Kemesraan antara hukum dan politik telah menjadikan hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seingkali melakukan intervensi terhadap perbuatan dan pelaksaan hukum, sehingga muncul pula pertanyaan tentang sistem mana yang lebih suprematif apakah subistem politik ataukah subsistem hukum. Hasil dari hukum legislatif merupakan hasil tarik menarik berbagai kepentingan politik yang mengejawantahkan dalam produk hukum.
Tatapi keadaan ini tidak bisa atau sulit dihindari mengingat kedudukan hukum yang langsung bersentuhan dengan negara. Sistem hukum di indonesia, undang-ungan merupakan produk legislasi, sehingga peran politik sangat begitu kental.
Namun, padahakikatnya, hukum dalam rangka politik adalah untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Dan perundang-undangan bisa dipahami sebagai produk dari suatu proses politik, secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi politik yang utama yang mencerminkan pandangan masyarakat tentang tata norma etis sosial, penerbitan umum, keadilan, nilai sosial, budaya, peranan serta hubungan-hunbaungan antar lembaga-lembaga sosial. Dalam negara hukum, pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya terbatas pada kerangka mandat konstitusi. Negara adalah perujudan dari akal sehat yang harus diselenggarakan meurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum.
Proses pembentukan hukum oleh legeslator, senantiasa memperhatikan beberapa sudut pandang, yakni sudut pandang filosofis, secara yuridis dan secara sosiologis. Sehingga kaidah yang tercantum dalam undang-undang adalah sah secara hukum berlaku efektif dan diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu panjang.
Faktor-faktor yang dapat undang-undang tidak dapat diterapkan, yaitu pertama undang-undang tidak memuat pesan apa yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut. Kedua, adanya konflik isi undang-undang dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakatdan untuk siapa undang-undang itu diadakan. Ketiga, gagalnya penerapan suatu undang-undang selalu terjadi karena tidak disertai dengan normaa-norma pelaksanaannya.
Politik kriminal dengan menggunakan politik hukum pidana, maka harus merupakan langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai fungamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patu atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Pemutusan suatu pidana hendaknya mempertimbangkan moral, sejauh mana prilaku itu menyimpang dari moralitas, kemudian bagaimana kekejian itu dilakukan.
Tiga tahap penegakan kebijakan penal yaitu, tahap formulasi (merupakan kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yuridis), dan tahap eksekusi atau pelaksaan (kebijakan eksekutif atau administratif).
A. Makna Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminal bisa diartikan sebagai suatu prilaku dari semua pemeran untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengkoreksian terhadap undang-undang, di mana perbautan itu diancam dengan suatu sanksi yaitu berupa pidana.
Berdasarkan tujuan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan kriminal itu sangat berkaitan erat dengan kebijakan sosial, bahkan kebijakan-kebijakannya termasuk dalam kebijakan sosial. Konsekuensi sebagai kebijakan, pidana bukan merupakan suatu keharusan.
Kebijakan kriminal selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, di antaranya: pertama, keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Kedua, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasu di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Ketiga, keseluruhan kenijakan, yang bertujuan ntuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Ini berarti bahwa kebibajakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masayarakat dalam menanggulangi kejahatan.
B. Keterkaitan Politik Kriminal dengan Politik Sosial
Untuk mengendalikan kejahatan, tidak lah cukup hanya menggunakan sarana panel, tetapi juga harus melibatkan usaha non-panel yang berupa penyantunan dan pendidikan sosial, dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkata usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus-menerus oleh polisi, aparat keamanan dan sebagainya.
Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif non panel ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan terpadu. Karena kegiatan non penal itu mempunyai pengaruh provensi terhadap kejahatan. Sehingga dapat dikatanakan bahwa seluruh kegiatan provensi non penal itu mempunyai kedudukan yang sangat strategis dam mempunyai kunci yang harus diintegrasikan.
Alasan terpanting dari pernyataan di atas, bahwa pada realitasnya, kejahatan itu muncul disebabkan oleh ketimpangan sosial, dikriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, penganguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk.
C. Kebijakan Kriminalisasi Pemidanaan
Dalam perkembangan pemikiran determinisme, bahwa tingkahlaku seseorang itu diperngaruhi oleh watak pribadi, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungannya. Dengan demikian, kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya, diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan. Kejahatan juga dipandang sebagai perujudan ketidakhormatan atau ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan sikap mengobati.
Pemikiran ini menjadi dasar hukum pidana fungsional, yaitu hukum pidana tidak hanya berfungsi memberikan nestapa bagi pelanggaran hukum, tetapi juga mengatur masyarakat agar hidup lebih adil, damai dan tentram. Penerapan hukum pidana ini tidak harus berujung dengan penjatuhan pidana. Tetapi bisa dengan sanksi tindakan yang dikenal dengan pardon.
Berdasarkan yang ada, hukum pidana dalam politik kriminal bertujuan untuk mencegah dan bukan untuk pembalasan. Dengan demikian, sistem hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah terhadap kejahatan, bukan sebagai perujudan pencelaan moral.
Untuk mewujudkan kebijakan suatu sanksi pidana dapat malalui tiga tahap, diantaranya: penetapan pidana oleh pembuat undang-undang. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan. Tahap pelaksanaan oleh pelaksana pidana yakni aparat eksekusi pidana.
Dalam hukum pidana, selain unsur kesalahan dan melawan hukum, maka penting pula untuk merumuskan atau menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yakni subsosialitas, sehingga menempatkan ilmu hukum pidana ketataran sosial politik.
D. Kebijakan Legislatif tentang Pemindanaan
Kemesraan antara hukum dan politik telah menjadikan hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seingkali melakukan intervensi terhadap perbuatan dan pelaksaan hukum, sehingga muncul pula pertanyaan tentang sistem mana yang lebih suprematif apakah subistem politik ataukah subsistem hukum. Hasil dari hukum legislatif merupakan hasil tarik menarik berbagai kepentingan politik yang mengejawantahkan dalam produk hukum.
Tatapi keadaan ini tidak bisa atau sulit dihindari mengingat kedudukan hukum yang langsung bersentuhan dengan negara. Sistem hukum di indonesia, undang-ungan merupakan produk legislasi, sehingga peran politik sangat begitu kental.
Namun, padahakikatnya, hukum dalam rangka politik adalah untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Dan perundang-undangan bisa dipahami sebagai produk dari suatu proses politik, secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi politik yang utama yang mencerminkan pandangan masyarakat tentang tata norma etis sosial, penerbitan umum, keadilan, nilai sosial, budaya, peranan serta hubungan-hunbaungan antar lembaga-lembaga sosial. Dalam negara hukum, pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya menyelenggarakan kekuasaan politiknya terbatas pada kerangka mandat konstitusi. Negara adalah perujudan dari akal sehat yang harus diselenggarakan meurut kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum.
Proses pembentukan hukum oleh legeslator, senantiasa memperhatikan beberapa sudut pandang, yakni sudut pandang filosofis, secara yuridis dan secara sosiologis. Sehingga kaidah yang tercantum dalam undang-undang adalah sah secara hukum berlaku efektif dan diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu panjang.
Faktor-faktor yang dapat undang-undang tidak dapat diterapkan, yaitu pertama undang-undang tidak memuat pesan apa yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut. Kedua, adanya konflik isi undang-undang dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakatdan untuk siapa undang-undang itu diadakan. Ketiga, gagalnya penerapan suatu undang-undang selalu terjadi karena tidak disertai dengan normaa-norma pelaksanaannya.
Politik kriminal dengan menggunakan politik hukum pidana, maka harus merupakan langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai fungamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat patu atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.
Pemutusan suatu pidana hendaknya mempertimbangkan moral, sejauh mana prilaku itu menyimpang dari moralitas, kemudian bagaimana kekejian itu dilakukan.
Tiga tahap penegakan kebijakan penal yaitu, tahap formulasi (merupakan kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yuridis), dan tahap eksekusi atau pelaksaan (kebijakan eksekutif atau administratif).
Post a Comment for "Posisi Kebijakan Kriminal dalam Kebijakan Sosial"