Aswaja, NU, dan Wacana Sosial-Keagamaan Indonesia
Oleh Hairus Saleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Tidak asing lagi ketika menemukan
kata Aswaja, karena memang Aswaja merupakan ajaran faham yang menyebar sangat
luas di Indonesia, dan mampu mempegaruhi masyarakat mayoritas Indonesia khususnya
didaerah Jawa.
Aswaja sering sekali disebutkan
bersamaan dengan adanya kata NU, hal ini lah yang menimbulkan pertanyaan besar sebagaian
masyarakat tentang hubungan keduanya. Sehingga dibutuhkan pernjelasan yang
perlu disinggung dalam pembahasan ini.
Dalam permasalahan adanya multi kultural
yang ada di Indonesia, sewajarnya jika segala sesuatu pasti dibenturkan
terhadapnya, sehingga tidak semua golongan atau faham mampu menempatkan eksistensi
dirinya dalam kenyataan tersebut. Karena jika tidak akan terjadi persinggungan terhadap
kultur setempat yang akan menimbulkan konflik internal.
Belum lagi dengan adanya multi
faham dan pemikiran yang ada baik dalam agama itu sendiri maupun yang datang
dari luar agama yang rawan menimbulkan pertikaian antara yang satu dengan yang
lain.
Pada saat inilah Aswaja tampil
sebagai organisasi keagamaan yang dengan konsep-konsepnya mampu menangani
problematika tersebut. Hal inilah yang merupakan yang konsep dasar adanya
peranan penting, dan sumbangan terbesar Aswaja terhadap wacana-wacana publik
yang dijadikan kajian utama Islam sebagai agama moderat.
Pembahasan
Di era yang penuh dengan muskilat, Aswaja
tampil sebagai faham yang mampu mengatasi pertikaian antar golongan, dan
menjawab tantang keagamaan yang dihadapkan pada multi kultural dan multi
pemikiran. Dengannya diharapkan tercipta kedamaian di dunia.
Secara etimologis Ahlussunnah Wal
Jama‘ah terdiri dari tiga kata, yaitu:
Ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-Sunnah; tradisi, jalan,
kebiasaan dan perbuatan sedang al Jama‘ah; kebersamaan, kolektifitas, komunitas,
mayoritas dan lain-lain.[1]
Sedangkan Arti Aswaja pada secara universal bisa difahami dari prediksi Rasul
tentang umatnya yang tercantum dari disebuah Hadist yang disampaikan Rasul “Umatku
akan sampai suatu masa umaatku akan terpecah, dan seterusnya”. Kemudian
diteruskan dengan Hadits “umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya
satu golongan yang selamat, dan yang lain binasa, ditanya: siapakah
golongan yang selalmat itu?, Rasul menjawab: ahlussunnah wal Jama‘ah , ditanya:
apakah ahlussunnah wal Jama‘ah itu?, Rasul
menjawab: yang mengikuti apa yang aku lakukan, dan sahabatku.” (Isnad
tidak mengandung perawi dha’if)[2].
Dari sinilah ditemukan bahwa makna Aswaja adalah ajaran yang mengikuti apa
yang Rasul, dan Sahabat kerjakan. Dengan demikian pada dasarnya aswaja sudah
ada pada zaman Rasul. tetapi Aswaja pada waktu itu hanya sebagai realitas
komunitas muslim belum ada. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa
Rasulullah itulah Aswaja. Dengan demikian Ahlusunnah
waljama'ah secara umum dapat diartikan sebagai "para pengikut tradisi
Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama".[3]
Ahlussunnah Wal Jama‘ah sebagai sebuah aliran (aliran yang menganut
faham aswaja/berkonsepkan Aswaja) muncul karena adanya sebuah respon terhadap
aliran Mu‘tazilah yang terkesan terlalu rasional sampai mengenyampingkan Sunnah[4].
Dalam hal ini aliran Ahlussunnah Wal Jama‘ah
dibagi menjadi dua golongan diantaranya adalah Asy‘ariyyah yang
dipelopori oleh Abu Hasan Asy‘ari, dan Maturidhiyyah yang dipimpin oleh Abu
Mansur al Maturidi. Dan yang menyebar ke Indonesia adalah aliran Asy‘ariyyah
menjelma menjadi NU yang didirikan oleh Hasyim Asy‘ari.
Namun disini NU tidak hanya sebagai
sekedar cabang dari asy’ariyyah, tapi NU adalah organisasi keagamaan yang
sangat patuh, dan konsisten dalam menggunakan aswaja sebagai konsepnya, dan
menggunkannya dengan sangat baik, sehingga NU tidak bisa dilepaskan dengan Aswaja
atau boleh kita katakana ketika menyebutkan NU sama dengan menyebutkan Aswaja.
Pada awalya makna Aswaja Indonesia adalah
sama dengan pemahaman sebelumnya, yaitu ajaran yang sesuai dengan Hadits, dan ijma’
ulama. Namun, dalam hal ini terdapat spesifikasi yang lebih menyesuaikan dengan
kultur Indonesia yang majemuk.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi
Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i,
Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Selain itu,. Dalam bidang akidah.
Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid al Baghdâdî
dan al Ghazâlî.[5] Aswaja
juga disebut paham yang mengikuti Asy‘ari, dan Maturidi.
Adapun salah satu konsep dari pemahaman
Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar.
Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak
terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap
keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang
beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan
kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan
kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi
munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.[6]
Aswaja sebagai paham keagamaan yang
di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus memandang, dan
memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi
manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya
memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia,
baik secara personal maupun sosial. Dalam hal ini asawaja dalam NU lebih
condong bersifat substansial dari pada teknis.[7]
Dalam hal ini, berlaku sebuah
kaidah fikih "al muhâfazhah
alâ al qadîm al shalîh wal al akhzu bil jadidî al ashlâh",
melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam
menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima.
Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh
kaidah fikih, "al adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi
(yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Berangkat dari paradigma Aswja tersebut maka tampak jelas
bahwa kaum Aswaja tidak mudahmengkafirkan atau mensyirikkan orang lain hanya
karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan
perilaku sebagian kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini. Kaum
Aswaja bahkan juga tidak mudah menuduh sesat (bid’ah) terhadapmereka yang
berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran
keagamaan. Dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan
paraulama fiqh : “Ra’yuna shawab yahtamil al khata’ wa ra’yu ghairina khatha
yahtamil al Shawab”(penda pat kami benar meski mungkin keliru, dan pendapat
orang lain keliru tapi mungkin sajabenar). Pada sisi lain kaum Aswaja tidak
sepenuhnya membiarkan berkembangnyapemahaman yang serba menghalalkan segala
cara (ibahiyyah). Untuk menjembatanikesenjangan pemahaman antar umat, kaum
Sunni mengemukakan prinsip “musyawarah” atau“syura” untuk mencapai kesepakakan
dengan damai, tanpa kekerasan.
Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih
memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia yang
tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Aswajalah golongan yang dapat
menjawab secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan
kepada Islam. Hal ini karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaancara-cara
radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang
lain meski mereka berbeda aliran keagamaan bahkan terhadap mereka yang berbeda
agamanya.[8]
Aswaja
juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non
muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka.
Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar
Ma’ruf Nahi Munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat
yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang
terbaik). Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan
dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi
kehidupan bersama masyarakat bangsa.
Dengan demikian, terdapat
terobosan merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan
kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh, dan melindungi hak-hak asasi
manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk
dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah
terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syariah Islam dengan hukum publik
baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju
masyarakat yang musyawarah, dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat,
konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Artikel KH. Husein Muhammad, Aswaja Di
Antara Dua Kutub Ekstrimitas, Jumat, 02 November 2007
Baghdady, Al, Al-farqu
Bainal firaq
Dhofier, Zamakhsyari, Tradi
Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994
Muchtar, Masyhudi, Aswaja
An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan
Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista, I, Maret 2007
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press,
1986
Qomar, Mujamil, NU Liberal; Dari
Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, Bandung: Mizan, 2002
wahid, Abdurrahman, Tuhan
Tak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKIS, cet v, 2010
[1]
http://lentera-rakyat.sos4um.com/aqidah-akhlaq-f36/ahlussunnah-wal-jama-ah-versi-nu-t858.htm
[2] Al-Baghdady,
Al-farqu Bainal firaq, h. 7
[3] Zamakhsyari
Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), h.148
[4] Harun Nasution,
Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 65
[5] Mujamil
Qomar, , NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 62
[6] Masyhudi
Muchtar, Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di
Lingkungan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Khalista, cet I, Maret 2007), 51-52
[7]
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, cet v,
2010), h.37