GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ (1646-1716)
Jika berbicara tentang pemikiran GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ, maka kita tidak akan terpisah dengan para pemikir sebelumnya. Leibniz sebagai tokoh filsafat, beberapa pemikirannya tentang filsafat agama sangat dipengaruhi oleh Anselmus yaitu mereka menerima “dunia konsep” sebagai dunia yang sungguh-sungguh ada[1].
Selain seorang filsuf ia pernah menjadi penasehat raja, pustakawan sejarawan, ilmuwan, matematikawan, doctor dalam dunia dan hokum gereja. Ia dianggap sebagai jiwa Unniversalis zamannya dan merupakan salah seorang filsuf yang paling berpengaruh pada abad masanya. Bahkan ia juga menemukan logika matematika, kalkulus dan energy Kinetik (Fisika),[2].
Ia merupakan penganut filsafat rasionalisme Descartes, yakni pengetahuan manusia yang sesungguhnya diperoleh dengan akal dan panca indera, bukan dari pengalaman (empirisme).
Leibniz dilahirkan di leipsic, jerman pada tahun 1646[3]. Ayahnya adalah professor dalam bidang filsafat moral, Leibniz belajar hukum dan filsafat skolatik dan Descartes.[4] Leibniz lahir dua tahun sebelum kesudahan perang tiga puluh tahun antara golongan Kristen protestan dan katolik di jerman. Dalam hidupnya ia sempat mengunjungi tokoh penting filsafat lainnya yaitu Spinoza[5].
Menurutnya ada banyak substansi yang disebut dengan monad (monos= satu; monad= satu unit) jika dalam matematika yang terkecil adalah titik, dan dalam fisika disebut dengan atom, maka dalam metafisika disebut dengan monad, terkecil dalam pendapat leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka yang dimaksud dengan monad bukan sebuah benda. Monad- monad bukanlah sebuah kenyataan jasmaniah melainkan kenyataan mental, yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebagai “force primiyives” (daya purba) yang tidak materiil, melainkan spiritual[6].
Jika Descartes membagi subtansi menjadi tiga, yaitu ; Tuhan, Pemikiran, dan keluasan dan Spinoza hanya menyakini hanya ada satu subtansi yaitu Tuhan atau alam, maka berbeda dengan Leibniz, ia mengatakan bahwa terdapat banyak sekali subtansi, jumlahnya tidak tidak terhingga. Tiap substansi disebut dengan monade, yang berasal dari kata yunani monas, artinya kesatuan. Monade ini bukanlah bagian terkecil dari materi yang masih mempunyai bentuk dan keluasan spasial, melainkan suatu titik yang bersifat murni metafisik (points metaphysiques).
Sebagai subtansi nonmaterial, monade bersifat; 1. Abadi, tidak bisa dihasilakan, ataupun dimusnahkan; 2. Tidak bisa dibagi (bertentangan dengan “substansi” keluasan. Descartes yang mengandaikan sifat dapat dibagi); 3. Individual atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monade yang identik dengan monade lain (bertentangan dengan substansi Spinoza yakni bahwa subtasi hanya tuhan atau Alam); 4. Mewujudkan kesatuan yang tertutup atau tidak berjendela, seolah-olah sesuatu bisa masuk atau keluar; 5. Mampu bekerja berkat daya aktif dari dalam dirinya sendiri. Kerja dari dan oleh dirinya sendiri ini terdiri dari kegiatan mengamati (perceptio) dan meninginkan (appetitions). Karena sifat-sifat inilah, Leibniz mendefinisikan monade sbagai atom-atom sejati dari alam dan hanya apabila monade tersebut ada dalam “jasad-jasad organic”, maka monade-monade itu akan menjadi “prinsip kehidupan”[7].
Monade menurut Leibniz ada dimacam, pertama, monade yang hanya memiliki gambaran gelap dan sama sekali tidak disadari, yakni monade-monade yang menyusun benda-benda anorganik. Kedua, monade yang telah memiliki gambaran agak terang yaitu, yaitu monade yang member pengenalan inderawi dan memori, misalnya monade-monade penyusun manusia dan hewan. Ketiga, monade yang memiliki gambaran yang terang dan kesadarn diri (apperceptio), yakni jiwa manusia yang mengenal hakikat segala sesuatu secara sadar dan mampu mengungkapkan apa yang dilihatnya ke dalam suatu definisi[8].
Pada setiap monade terdapat daya dorong dari dalam dirinya sendiri untuk bergerak secara progresif, mulai dari usaha untuk mendapatkan gagasan yang baru dan agak jelas (perceptio) hingga mencapai gagasan yang jelas dan disadari (apperceptio). Dengan kata lain, tiap monade mempunyai usaha untuk menyempurnakan dirinya sampai kepada tingkat jiwa manusia.
Ajaran Leibniz tentang monade juga diterapkan pada ajaran tentang proses pengetahuan manusia, menurut Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta sesungguhnya telah ada didalam dirinya sendiri sebagai bawaan (monade jenis pertama). Pada mulanya pengetahuan ini berbentuk gagasan yang belum disadari, namun kemudian berkat usaha dari jiwa manusia, gagasan tersebut menjadi disadari. Dalam pengamatan inderawi, pengetahuan ini masih sangat kabur sebab baru menghasilkan gagasan yang masih sedikti kejelasannya (monade jenis kedua). Namun, kemudian pengetahuan dalam pengalaman indrawi ini secara perlahan menjadi semakin jelas, hingga akhirnya muncul dalam gagasan atau ide yang jelas sebagai suatu pemahaman (monade jenis ketiga).
Pengetahuan manusia menurutnya pengetahuan manusia dikembangkan lebih lanjut, dan pengalaman sendiri bukanlah sumber pengetahuan, melainkan pengetahuan tingkat pertama. Dalam proses menjadi pengetahuan dalam bentuk satu pemahaman, rasio atau dayaa berfikir berusaha menambah isi pengetahuan pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas dan disadari. Sifat pengetahuan ini adalah umum dan mutlak, karena tidak berasal dari empiris yang terbatas pada ruang dan waktu. Jiwa adalah satu monad inti dan tubuh adalah monade jamak,
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan monad adalah kesadaran tertutup, sejajar dengan cogito tertutup Descartes. Monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya, diantara monad-monad tidak ada interaksi, sebab masing-masing merupakan kenyataan mental yang cukup diri, monad adalah sebuah system tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain dari pada cermin alam semesta.[9]
Leibniz adalah seorang rasionalis jerman yang mencoba mendamaikan antara teologi dan mekanisme. Ia menyakini bahwa kenyataan tersusun atas unit-unit daya (monade) yang tak terhingga jumlahnya, yang “tanpa jendela” (tidak mempengaruhi satu sama lain), “cermin yang hidup” (yang diorganisir dalam keselarasan sejak awal mulanya sehingga tindakan-tindakan dari setiap monad selalu akan selaras atau mencerminkan tindakan-tindakan dari semua monade yang lain), monade-monade bertindak karena sebab-sebab internal, dan sebab finalnya adalah prinsip dasar memadai (Allah dan kehendakNya untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan). Leibniz menyakini bahwa kejahatan adalah sesuai dengan konsep tentang Tuhan yang maha baik, karena dunia terbaik yang mungkin pun pastilah mengandung kelemahan.[10]
Dalam permikirannya, Leibniz bermaksud untuk membuktikan eksistensi wujud (Tuhan)[11]. Bagaimana keberadaan Tuhan itu benar-benar “ada” didalam kehidupan manusia. Ia membuktikan eksistensi Tuhan dengan konsepnya tentang monade-monade.
Lribniz berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan empat Argumen. Pertama, ia mengatakan bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, maka adanya Tuhan terbukti. Bukti ini disebut dengan ontologism. Kedua, ia berpendapat adanya alam semesta dan tidak lengkapnya membuktikan adanya sesuatu yang melebihi alam semesta ini, dan yang transenden ini disebut dengan Tuhan. Ketiga, ia berpendapatbahwa kita selalu ingin mencapai kebenaran abadi, yaitu “Tuhan”. Keempat, Leibniz mengatakan bahwa adanya keselarasan antara monade-monade membuktikan bahwa pada awal mula ada yang mencocokan mereka satu sama lain, yang mencocokkan itu adalah Tuhan[12].
Ajaran Leibniz yakni tentang monade-monade ini, menjadi jalan keluar atas keparcayaan Dualisme, dengan monade ini Leibniz memecahkan kesulitan mengenai hubungan antara jiwa dan tubuh. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh terdiri dari banyak monade. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain, sebab masing-masing monade harus dianggap tertutup.[13]
Leibniz juga mempunyai gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak bebas untuk menyajikan contoh kongkret dunia-dunia yang kontradiktoris secara logis, dan tidak ada dunia yang konsisten secara logis, tempat mahluk-mahluk yang berkehendak bebas sekaligus tidak ada kejahatan. Menurut Leibniz kehendak bebas adalah sebab dari kejahatan.[14]
Tuhan atau subtansi tidak terbatas, dipahami dengan berfikir secara hati-hati sebab ia adalah alam rasional, sifat-sifatnya berkembang dalam pemikiran, jadi idenya tidak dimuali dari pemikiran tapi dengan langsung pada esensi itu sendiri.[15]
Tuhan memiliki kekuatan kreatif, sehingga dalam pandangan Leibniz bahwa modab bergerak menyusun dunia, yang telah diprogramkan kedalam diri mahluk pada saat penciptaan[16].
Leibniz menyakini, bahwa alam semesta dikuasai oleh akal, dan Tuhan telah menciptakan bumi sebagai dunia yang terbaik diantara segala dunia. Hubungan akal dengan wahyu menurut Leibniz adalah wahyu itu dinyatakan dengan injil, dan akal merupakan karunia Tuhan maka keduanya harus diserasikan.
Sesudah menciptakan dunia, Tuhan tidak perlu memperhatikan lagi, Ia sudah menyusun sebelumnya semua gerak sehingga alam semesta untuk selamanya akan berjalan secara selaras. Maka tidak ada campur Tuhan dalam jalannya dunia, baik secara biasa maupun secara luar biasa[17]. Leibniz mengumpamakan dengan jam dinding, bahwa penciptaan alam seperti jam dinding, sehingga ia membuat pertanyaan, mana yang lebih sempurna, jam dinding yang terus-menerus perlu dicampuri dan dibetulkan, atau jam dinding yang sudah dibangun sedemikian sempurna hingga berjalan dengan amat persis tanpa perlu terus dipasang kembali? Pandangan ini juga disebut dengan Deisme[18].
Mengapa didunia yang paling baik ini terdapat keburukan? Kalau Allah ada dari manakah asalnya kejahatan? Kalau Allah tidak ada, dari manakah asalnya kebaikan?
Leibniz membuat suatu perbedaan tentang arti keburukan, pertama, keburukan metafisik (misalnya bencana alam) keburukan ini sudah dengan sendirinya termuat dalam pengertian “alam ciptaan”. Jika alam ciptaaan ini sempurna, lalu apakah perbedaan antara ciptaan dan penciptanya? Kedua, keburukan fisik (misalnya penyakit, penderitaan). Apabila dilihat dari perspektif yang lebih luas, keburukan seperti ada manfaatnya, misalnya agar kita lebih berhati-hati dalam dalam menjaga kesehatan. Namun, mungkin juga keburukan ini merupakan hukuman bagi kita agar memperbaiki diri. Ketiga, keburukan moral; ini adalah dosa atau kejahatan dalam arti sesungguhnya.
Bahwa adanya kejahatan merupakan akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalah gunakan. Allah tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau kejahatan, agar manusia tetap bebas. Allah mencintai manusia dan melarang tindakan kejahatan dalam bentuk apapun. Namun, manusia yang dicintai Tuhan adalah manusia bebas yang justru karena itu bias melakukan apa sebenarnya dilarang Tuhan. Jiwa bagi Leibniz adalah abadi, sehingga ia berpegang teguh pada keadilan Tuhan yang mutlak sesudah mati[19].
Substansi adalah monade. Kenyataan terdiri dari monade-monade, yaitu bagian-bagian yang terkecil, yang semuanya itu merupakan substansi-substansi. Monade-monade tidak memiliki ukuran. Monade-monade dapat dianggap sebagai titik-titik yang mempunyai kuantitas energy tertentu dan arah-arah tertentu. Monade-monade itu seperti jiwa karena semua monade memiliki kesadaran. Monade-monade pada taraf anorganis (benda tak hidup), mempinyai kesadaran yang hanya dalam “mimpi”. Kesadaran monade pada taraf tumbuhan dan hewan sudah lebih tinggi.
Monade pada Tuhan dan manusia. Manusia terdiri dari monade-monade dengan kesadaran yang sangat tinggi, Tuhan adalah monade yang paling tinggi, merupakan kesadaran yang sempurna dan tak terhingga. Monade-monade itu adalah individu-individu, yang sebagai “mikrokosmos” merupakan bayangan dari “makrokosmos”. Monade-monade itu tidak terbuka untuk makrokosmos diluar mereka. Mereka tidak berjendela, tetapi dalam keaktifan mereka monade-monade itu memperlihatkan suatu korelasi dengan monade-monade yang lain. Hal ini disebabkan setiap monade memiliki rencana lengkap didalamnya, yang disesuaikan dengan rencana monade-monade lainnya.
Keselarasan diantara monade. Semua monade diatur oleh suatu harmonia praestabilita, harmoni yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Tuhan telah menciptakan dunia sedemikian rupa, sehingga keaktifam semua monade mempunyai suatu appetites (tujuan, kehendak, keinginan) didalamnya. Appetites ini juga disebut entelecheia.
Pembeanaran Tuhan atau Teodise. Kebaikan Tuhan tidak bertentangan dengan kejahatan. Kebebasan manusuia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Tuhan. Dari semua dunia yang mungkin, Tuhan telah menciptakan yang paling baik. Dunia merupakan suatu hasil maksimal, semua kemungkinan lain itu lebih jelek.
Ada banyak substansi didunia menurut Leibniz, substansi tersebut disebut juga dengan monade, berbeda dengan Spinoza yang mengatakan bahwa substasi hanya ada satu yaitu Tuhan atau alam, dan begitu pula dengan Descartes yang membagi subtansi menjadi tiga, yaitu ; Tuhan, Pemikiran, dan keluasan
Tuhan telah menciptakan dunia sebelumnnya, sehingga dunia yang sedang berjalan sekarang adalah dunia yang telah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya, ia mengibaratkan sebagai sebuah jam dinding.
adanya kejahatan merupakan akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalah gunakan. Allah tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau kejahatan, agar manusia tetap bebas.
Ackermann, Robert John, “Agama sebagai kritik” ,terjemahan dari Religion as Critique, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997)
Bertens, K, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, cetakan ke-15 (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Copleston, Frederick, “ A History Of Philosophy: therationalists. Descartes to Leibnizts”, Vol. 4, (Continuum International Publishing Group, 2003)
Griffin, David Ray, “Tuhan & Agama Dalam Dunia Post Modern”, cetakan ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2009)
Magee, Bryan, “The Story Of Philosophy”. (Yogyakarta: kanisius, 2008 )
Mudhofir, Ali, “Kamus filsuf barat”, Cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Petrus L. Tjahjadi, Simon, “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius)
Sartika, Dewi ,“Dadaisme”, (Jakarta: Gramedia Widya Sarana Indonesia, 2006)
Sponville, Andre Comt, “Spiritualitas tanpa Tuhan”, cetakan 1,( Tangerang: Pustaka Alvabet, 2007,)
Suseno, Franz Magnis, “Menalar Tuhan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2006)
Woodhouse, B Mark.“Berfilsafat: sebuah langkah awal” terjemahan dari A preface to Philosophy, Edisi ke-3, Oleh Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
[1] Simon, Petrus L. Tjahjadi, “Pustaka filsafat, Petualangan Intelektual, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius), hal 127
[2] Bryan, Magee, “The Story Of Philosophy”. (Yogyakarta: kanisius, 2008 )Hal. 96
[3]F, Copleston, “ A History Of Philosophy: therationalists. Descartes to Leibnizts”, Vol. 4, (Continuum International Publishing Group, 2003) hal. 264
[4] Ali Mudhofir, “Kamus filsuf barat”, Cetaka I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 308
[5]F, Copleston, Hal.265
[6] Hirscberger, dalam Budi hardiman, “filsafat Modern dari Machiavelli sampai Neitzsche”. (Jakarta: Gramedia Utama, 2004)
[7] Leibniz, “Betrachtungen uber die Lebensprinzipen und uber die plastischem nature, dalam “Petualangan Intelektual", konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”. Hal 220
[8] Simon, Petrus L. Tjahjadi. “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”. Hal. 221
[9]F. Budi, Hardiman, “ Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietsche”, hal 55
[10] Mark B. Woodhouse.“Berfilsafat: sebuah langkah awal” (Yogyakarta: Kanisius), hal. 205-206
[11] Andre Comt Sponville, “Spiritualitas tanpa Tuhan”, cetakan 1,( Tangerang: Pustaka Alvabet, 2007,) hal. 97
[12] “Budi, Hardiman, “filsafat Modern”, Hal.57-58
[13]K. Bertens, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, cetakan ke-15 (Yogyakarta: Kanisius, 1998) hal. 49
[14] Robert John Ackermann, “Agama sebagai kritik” ,terjemahan dari Religion as Critique, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal. 19
[15] Dewi Sartika,“Dadaisme”, (Grasindo, 2006)hal. 122
[16] David Ray Griffin, “Pustaka Filsafat TUHAN & AGAMA DALAM DUNIA POST MODERN”, Cetakan Ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal 57
[17] Franz, Magnis Suseno, “Menalar Tuhan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2006) Hal. 53
[18] Deisme dari “dues”, Tuhan. Yang dimaksud adalah bahwa Tuhan tidak lagi difahami sebagai dekat dengan manusia, yang mengerjakan mukjizat-mukjizat dan mengambil tindakan dalam sejarah (seperti dalam sejarah bangsa Israel), yang terus menerus memelihara alam semesta dan memperhatikan setiap orang. (lihat. Franz, Magnis suseno, Hal 53)
[19]Simon, Petrus L. Tjahjadi, “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius) hal. 223
Selain seorang filsuf ia pernah menjadi penasehat raja, pustakawan sejarawan, ilmuwan, matematikawan, doctor dalam dunia dan hokum gereja. Ia dianggap sebagai jiwa Unniversalis zamannya dan merupakan salah seorang filsuf yang paling berpengaruh pada abad masanya. Bahkan ia juga menemukan logika matematika, kalkulus dan energy Kinetik (Fisika),[2].
Ia merupakan penganut filsafat rasionalisme Descartes, yakni pengetahuan manusia yang sesungguhnya diperoleh dengan akal dan panca indera, bukan dari pengalaman (empirisme).
Leibniz dilahirkan di leipsic, jerman pada tahun 1646[3]. Ayahnya adalah professor dalam bidang filsafat moral, Leibniz belajar hukum dan filsafat skolatik dan Descartes.[4] Leibniz lahir dua tahun sebelum kesudahan perang tiga puluh tahun antara golongan Kristen protestan dan katolik di jerman. Dalam hidupnya ia sempat mengunjungi tokoh penting filsafat lainnya yaitu Spinoza[5].
Pemikiran Leibniz Tentang Substansi
Menurutnya ada banyak substansi yang disebut dengan monad (monos= satu; monad= satu unit) jika dalam matematika yang terkecil adalah titik, dan dalam fisika disebut dengan atom, maka dalam metafisika disebut dengan monad, terkecil dalam pendapat leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka yang dimaksud dengan monad bukan sebuah benda. Monad- monad bukanlah sebuah kenyataan jasmaniah melainkan kenyataan mental, yang terdiri dari persepsi dan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebagai “force primiyives” (daya purba) yang tidak materiil, melainkan spiritual[6].
Jika Descartes membagi subtansi menjadi tiga, yaitu ; Tuhan, Pemikiran, dan keluasan dan Spinoza hanya menyakini hanya ada satu subtansi yaitu Tuhan atau alam, maka berbeda dengan Leibniz, ia mengatakan bahwa terdapat banyak sekali subtansi, jumlahnya tidak tidak terhingga. Tiap substansi disebut dengan monade, yang berasal dari kata yunani monas, artinya kesatuan. Monade ini bukanlah bagian terkecil dari materi yang masih mempunyai bentuk dan keluasan spasial, melainkan suatu titik yang bersifat murni metafisik (points metaphysiques).
Sebagai subtansi nonmaterial, monade bersifat; 1. Abadi, tidak bisa dihasilakan, ataupun dimusnahkan; 2. Tidak bisa dibagi (bertentangan dengan “substansi” keluasan. Descartes yang mengandaikan sifat dapat dibagi); 3. Individual atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monade yang identik dengan monade lain (bertentangan dengan substansi Spinoza yakni bahwa subtasi hanya tuhan atau Alam); 4. Mewujudkan kesatuan yang tertutup atau tidak berjendela, seolah-olah sesuatu bisa masuk atau keluar; 5. Mampu bekerja berkat daya aktif dari dalam dirinya sendiri. Kerja dari dan oleh dirinya sendiri ini terdiri dari kegiatan mengamati (perceptio) dan meninginkan (appetitions). Karena sifat-sifat inilah, Leibniz mendefinisikan monade sbagai atom-atom sejati dari alam dan hanya apabila monade tersebut ada dalam “jasad-jasad organic”, maka monade-monade itu akan menjadi “prinsip kehidupan”[7].
Monade menurut Leibniz ada dimacam, pertama, monade yang hanya memiliki gambaran gelap dan sama sekali tidak disadari, yakni monade-monade yang menyusun benda-benda anorganik. Kedua, monade yang telah memiliki gambaran agak terang yaitu, yaitu monade yang member pengenalan inderawi dan memori, misalnya monade-monade penyusun manusia dan hewan. Ketiga, monade yang memiliki gambaran yang terang dan kesadarn diri (apperceptio), yakni jiwa manusia yang mengenal hakikat segala sesuatu secara sadar dan mampu mengungkapkan apa yang dilihatnya ke dalam suatu definisi[8].
Pada setiap monade terdapat daya dorong dari dalam dirinya sendiri untuk bergerak secara progresif, mulai dari usaha untuk mendapatkan gagasan yang baru dan agak jelas (perceptio) hingga mencapai gagasan yang jelas dan disadari (apperceptio). Dengan kata lain, tiap monade mempunyai usaha untuk menyempurnakan dirinya sampai kepada tingkat jiwa manusia.
Ajaran Leibniz tentang monade juga diterapkan pada ajaran tentang proses pengetahuan manusia, menurut Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta sesungguhnya telah ada didalam dirinya sendiri sebagai bawaan (monade jenis pertama). Pada mulanya pengetahuan ini berbentuk gagasan yang belum disadari, namun kemudian berkat usaha dari jiwa manusia, gagasan tersebut menjadi disadari. Dalam pengamatan inderawi, pengetahuan ini masih sangat kabur sebab baru menghasilkan gagasan yang masih sedikti kejelasannya (monade jenis kedua). Namun, kemudian pengetahuan dalam pengalaman indrawi ini secara perlahan menjadi semakin jelas, hingga akhirnya muncul dalam gagasan atau ide yang jelas sebagai suatu pemahaman (monade jenis ketiga).
Pengetahuan manusia menurutnya pengetahuan manusia dikembangkan lebih lanjut, dan pengalaman sendiri bukanlah sumber pengetahuan, melainkan pengetahuan tingkat pertama. Dalam proses menjadi pengetahuan dalam bentuk satu pemahaman, rasio atau dayaa berfikir berusaha menambah isi pengetahuan pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas dan disadari. Sifat pengetahuan ini adalah umum dan mutlak, karena tidak berasal dari empiris yang terbatas pada ruang dan waktu. Jiwa adalah satu monad inti dan tubuh adalah monade jamak,
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan monad adalah kesadaran tertutup, sejajar dengan cogito tertutup Descartes. Monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya, diantara monad-monad tidak ada interaksi, sebab masing-masing merupakan kenyataan mental yang cukup diri, monad adalah sebuah system tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain dari pada cermin alam semesta.[9]
Leibniz adalah seorang rasionalis jerman yang mencoba mendamaikan antara teologi dan mekanisme. Ia menyakini bahwa kenyataan tersusun atas unit-unit daya (monade) yang tak terhingga jumlahnya, yang “tanpa jendela” (tidak mempengaruhi satu sama lain), “cermin yang hidup” (yang diorganisir dalam keselarasan sejak awal mulanya sehingga tindakan-tindakan dari setiap monad selalu akan selaras atau mencerminkan tindakan-tindakan dari semua monade yang lain), monade-monade bertindak karena sebab-sebab internal, dan sebab finalnya adalah prinsip dasar memadai (Allah dan kehendakNya untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan). Leibniz menyakini bahwa kejahatan adalah sesuai dengan konsep tentang Tuhan yang maha baik, karena dunia terbaik yang mungkin pun pastilah mengandung kelemahan.[10]
Argumen Lebniz Tentang Bukti Adanya Tuhan
Dalam permikirannya, Leibniz bermaksud untuk membuktikan eksistensi wujud (Tuhan)[11]. Bagaimana keberadaan Tuhan itu benar-benar “ada” didalam kehidupan manusia. Ia membuktikan eksistensi Tuhan dengan konsepnya tentang monade-monade.
Lribniz berusaha membuktikan keberadaan Tuhan dengan empat Argumen. Pertama, ia mengatakan bahwa manusia memiliki ide kesempurnaan, maka adanya Tuhan terbukti. Bukti ini disebut dengan ontologism. Kedua, ia berpendapat adanya alam semesta dan tidak lengkapnya membuktikan adanya sesuatu yang melebihi alam semesta ini, dan yang transenden ini disebut dengan Tuhan. Ketiga, ia berpendapatbahwa kita selalu ingin mencapai kebenaran abadi, yaitu “Tuhan”. Keempat, Leibniz mengatakan bahwa adanya keselarasan antara monade-monade membuktikan bahwa pada awal mula ada yang mencocokan mereka satu sama lain, yang mencocokkan itu adalah Tuhan[12].
Ajaran Leibniz yakni tentang monade-monade ini, menjadi jalan keluar atas keparcayaan Dualisme, dengan monade ini Leibniz memecahkan kesulitan mengenai hubungan antara jiwa dan tubuh. Jiwa merupakan suatu monade dan tubuh terdiri dari banyak monade. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain, sebab masing-masing monade harus dianggap tertutup.[13]
Leibniz juga mempunyai gagasan bahwa Tuhan mungkin tidak bebas untuk menyajikan contoh kongkret dunia-dunia yang kontradiktoris secara logis, dan tidak ada dunia yang konsisten secara logis, tempat mahluk-mahluk yang berkehendak bebas sekaligus tidak ada kejahatan. Menurut Leibniz kehendak bebas adalah sebab dari kejahatan.[14]
Tuhan atau subtansi tidak terbatas, dipahami dengan berfikir secara hati-hati sebab ia adalah alam rasional, sifat-sifatnya berkembang dalam pemikiran, jadi idenya tidak dimuali dari pemikiran tapi dengan langsung pada esensi itu sendiri.[15]
Tuhan memiliki kekuatan kreatif, sehingga dalam pandangan Leibniz bahwa modab bergerak menyusun dunia, yang telah diprogramkan kedalam diri mahluk pada saat penciptaan[16].
Leibniz menyakini, bahwa alam semesta dikuasai oleh akal, dan Tuhan telah menciptakan bumi sebagai dunia yang terbaik diantara segala dunia. Hubungan akal dengan wahyu menurut Leibniz adalah wahyu itu dinyatakan dengan injil, dan akal merupakan karunia Tuhan maka keduanya harus diserasikan.
Penciptaan dan campur Tangan Tuhan di dunia
Sesudah menciptakan dunia, Tuhan tidak perlu memperhatikan lagi, Ia sudah menyusun sebelumnya semua gerak sehingga alam semesta untuk selamanya akan berjalan secara selaras. Maka tidak ada campur Tuhan dalam jalannya dunia, baik secara biasa maupun secara luar biasa[17]. Leibniz mengumpamakan dengan jam dinding, bahwa penciptaan alam seperti jam dinding, sehingga ia membuat pertanyaan, mana yang lebih sempurna, jam dinding yang terus-menerus perlu dicampuri dan dibetulkan, atau jam dinding yang sudah dibangun sedemikian sempurna hingga berjalan dengan amat persis tanpa perlu terus dipasang kembali? Pandangan ini juga disebut dengan Deisme[18].
Keburukan atau Kejahatan dalam Pandangan Leibniz
Mengapa didunia yang paling baik ini terdapat keburukan? Kalau Allah ada dari manakah asalnya kejahatan? Kalau Allah tidak ada, dari manakah asalnya kebaikan?
Leibniz membuat suatu perbedaan tentang arti keburukan, pertama, keburukan metafisik (misalnya bencana alam) keburukan ini sudah dengan sendirinya termuat dalam pengertian “alam ciptaan”. Jika alam ciptaaan ini sempurna, lalu apakah perbedaan antara ciptaan dan penciptanya? Kedua, keburukan fisik (misalnya penyakit, penderitaan). Apabila dilihat dari perspektif yang lebih luas, keburukan seperti ada manfaatnya, misalnya agar kita lebih berhati-hati dalam dalam menjaga kesehatan. Namun, mungkin juga keburukan ini merupakan hukuman bagi kita agar memperbaiki diri. Ketiga, keburukan moral; ini adalah dosa atau kejahatan dalam arti sesungguhnya.
Bahwa adanya kejahatan merupakan akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalah gunakan. Allah tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau kejahatan, agar manusia tetap bebas. Allah mencintai manusia dan melarang tindakan kejahatan dalam bentuk apapun. Namun, manusia yang dicintai Tuhan adalah manusia bebas yang justru karena itu bias melakukan apa sebenarnya dilarang Tuhan. Jiwa bagi Leibniz adalah abadi, sehingga ia berpegang teguh pada keadilan Tuhan yang mutlak sesudah mati[19].
Substansi adalah monade. Kenyataan terdiri dari monade-monade, yaitu bagian-bagian yang terkecil, yang semuanya itu merupakan substansi-substansi. Monade-monade tidak memiliki ukuran. Monade-monade dapat dianggap sebagai titik-titik yang mempunyai kuantitas energy tertentu dan arah-arah tertentu. Monade-monade itu seperti jiwa karena semua monade memiliki kesadaran. Monade-monade pada taraf anorganis (benda tak hidup), mempinyai kesadaran yang hanya dalam “mimpi”. Kesadaran monade pada taraf tumbuhan dan hewan sudah lebih tinggi.
Monade pada Tuhan dan manusia. Manusia terdiri dari monade-monade dengan kesadaran yang sangat tinggi, Tuhan adalah monade yang paling tinggi, merupakan kesadaran yang sempurna dan tak terhingga. Monade-monade itu adalah individu-individu, yang sebagai “mikrokosmos” merupakan bayangan dari “makrokosmos”. Monade-monade itu tidak terbuka untuk makrokosmos diluar mereka. Mereka tidak berjendela, tetapi dalam keaktifan mereka monade-monade itu memperlihatkan suatu korelasi dengan monade-monade yang lain. Hal ini disebabkan setiap monade memiliki rencana lengkap didalamnya, yang disesuaikan dengan rencana monade-monade lainnya.
Keselarasan diantara monade. Semua monade diatur oleh suatu harmonia praestabilita, harmoni yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Tuhan telah menciptakan dunia sedemikian rupa, sehingga keaktifam semua monade mempunyai suatu appetites (tujuan, kehendak, keinginan) didalamnya. Appetites ini juga disebut entelecheia.
Pembeanaran Tuhan atau Teodise. Kebaikan Tuhan tidak bertentangan dengan kejahatan. Kebebasan manusuia tidak bertentangan dengan kemahakuasaan Tuhan. Dari semua dunia yang mungkin, Tuhan telah menciptakan yang paling baik. Dunia merupakan suatu hasil maksimal, semua kemungkinan lain itu lebih jelek.
Kesimpulan
Ada banyak substansi didunia menurut Leibniz, substansi tersebut disebut juga dengan monade, berbeda dengan Spinoza yang mengatakan bahwa substasi hanya ada satu yaitu Tuhan atau alam, dan begitu pula dengan Descartes yang membagi subtansi menjadi tiga, yaitu ; Tuhan, Pemikiran, dan keluasan
Tuhan telah menciptakan dunia sebelumnnya, sehingga dunia yang sedang berjalan sekarang adalah dunia yang telah ditentukan oleh Tuhan sebelumnya, ia mengibaratkan sebagai sebuah jam dinding.
adanya kejahatan merupakan akibat langsung dari kebebasan manusia yang disalah gunakan. Allah tidak menghendaki kejahatan, namun ia membiarkan dosa atau kejahatan, agar manusia tetap bebas.
Refrensi:
Ackermann, Robert John, “Agama sebagai kritik” ,terjemahan dari Religion as Critique, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997)
Bertens, K, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, cetakan ke-15 (Yogyakarta: Kanisius, 1998)
Copleston, Frederick, “ A History Of Philosophy: therationalists. Descartes to Leibnizts”, Vol. 4, (Continuum International Publishing Group, 2003)
Griffin, David Ray, “Tuhan & Agama Dalam Dunia Post Modern”, cetakan ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2009)
Magee, Bryan, “The Story Of Philosophy”. (Yogyakarta: kanisius, 2008 )
Mudhofir, Ali, “Kamus filsuf barat”, Cetakan 1 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Petrus L. Tjahjadi, Simon, “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius)
Sartika, Dewi ,“Dadaisme”, (Jakarta: Gramedia Widya Sarana Indonesia, 2006)
Sponville, Andre Comt, “Spiritualitas tanpa Tuhan”, cetakan 1,( Tangerang: Pustaka Alvabet, 2007,)
Suseno, Franz Magnis, “Menalar Tuhan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2006)
Woodhouse, B Mark.“Berfilsafat: sebuah langkah awal” terjemahan dari A preface to Philosophy, Edisi ke-3, Oleh Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
[1] Simon, Petrus L. Tjahjadi, “Pustaka filsafat, Petualangan Intelektual, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius), hal 127
[2] Bryan, Magee, “The Story Of Philosophy”. (Yogyakarta: kanisius, 2008 )Hal. 96
[3]F, Copleston, “ A History Of Philosophy: therationalists. Descartes to Leibnizts”, Vol. 4, (Continuum International Publishing Group, 2003) hal. 264
[4] Ali Mudhofir, “Kamus filsuf barat”, Cetaka I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 308
[5]F, Copleston, Hal.265
[6] Hirscberger, dalam Budi hardiman, “filsafat Modern dari Machiavelli sampai Neitzsche”. (Jakarta: Gramedia Utama, 2004)
[7] Leibniz, “Betrachtungen uber die Lebensprinzipen und uber die plastischem nature, dalam “Petualangan Intelektual", konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”. Hal 220
[8] Simon, Petrus L. Tjahjadi. “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”. Hal. 221
[9]F. Budi, Hardiman, “ Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietsche”, hal 55
[10] Mark B. Woodhouse.“Berfilsafat: sebuah langkah awal” (Yogyakarta: Kanisius), hal. 205-206
[11] Andre Comt Sponville, “Spiritualitas tanpa Tuhan”, cetakan 1,( Tangerang: Pustaka Alvabet, 2007,) hal. 97
[12] “Budi, Hardiman, “filsafat Modern”, Hal.57-58
[13]K. Bertens, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, cetakan ke-15 (Yogyakarta: Kanisius, 1998) hal. 49
[14] Robert John Ackermann, “Agama sebagai kritik” ,terjemahan dari Religion as Critique, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal. 19
[15] Dewi Sartika,“Dadaisme”, (Grasindo, 2006)hal. 122
[16] David Ray Griffin, “Pustaka Filsafat TUHAN & AGAMA DALAM DUNIA POST MODERN”, Cetakan Ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal 57
[17] Franz, Magnis Suseno, “Menalar Tuhan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2006) Hal. 53
[18] Deisme dari “dues”, Tuhan. Yang dimaksud adalah bahwa Tuhan tidak lagi difahami sebagai dekat dengan manusia, yang mengerjakan mukjizat-mukjizat dan mengambil tindakan dalam sejarah (seperti dalam sejarah bangsa Israel), yang terus menerus memelihara alam semesta dan memperhatikan setiap orang. (lihat. Franz, Magnis suseno, Hal 53)
[19]Simon, Petrus L. Tjahjadi, “Pustaka filsafat PETUALANGAN INTELEKTUAL, konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta: Kanisius) hal. 223
Post a Comment for "GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ (1646-1716)"