Falsafah Islam Indonesia
Oleh Hairus Saleh
Mahasiswa Aqidah Falsafah UIN Syarif Hidayatullah
Falsafah Islam Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan Falsafah Islam di wilayah lainnya. Ia banyak dipengaruhi oleh berbagai monopluralitas Indonesia baik dari segi kultur dan kepercayaan.
Mahasiswa Aqidah Falsafah UIN Syarif Hidayatullah
Falsafah Islam Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dengan Falsafah Islam di wilayah lainnya. Ia banyak dipengaruhi oleh berbagai monopluralitas Indonesia baik dari segi kultur dan kepercayaan.
Dalam memahaminya, tentunya tidak akan pernah lepas dari pengertian dasar falsafah itu sendiri. Secara etimologi ia berasal dari bahasa yunani, yaitu philo dan Sophia yang bermakna cinta akan kebijakan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan inteligensia. Kemudian dalam perspektif Islam, falsafah dipandang sebagai ilmu penting untuk mencari hakikat segala sesuatu yang dinilai sebagai ilmu tertinggi yang berasal dari Tuhan. Sedangnkan pencampuran pemikiran falsafah Islam dengan kultur masyarakat Indonesia dan pengaruh sistem yang ada di Indonesia marupakan tampilan dari adanya falsafah Islam Indonesia.
Falsafah Islam Indonesia ditandai dengan munculnya para pembaharu Islam di Indonesia seperti Harun Nasution, Abdurrahaman Wahid, Nurcholish Madjid dan lainnya. Mereka secara aktif menjadikan Islam sebagai agama yang variatif dan membuktikan Islam sebagai agama relatif, tidak monoton dan bisa diterima disemua kalangan serta dapat diaplikasikan diberbagai sistem sosial dan pemerintahan.
Sebenarnya, pengaruh Islam terhadap falsafah Indonesia lahir sejak awal penyebaran Islam di Indonesia melalui perdangan dan falsafah mistisme Islam yang berasal dari kerajaan-kerajaan Islam. Menurut Ahmad Mansur Surya Negara orang Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari beberapa Negara timur tengah di antaranya adalah Gujarat, Mekah dan Persia.
Islam masuk di Indonesia membawa faham-faham falsafah mistisme. Faham-faham ini memunyai keserasian dengan faham, dan budaya masyarakat Indonesia yaitu animism dan dinamisme. Hal itu lah yang menyebabkan masyarakat Indonesia sangat mudah menerima Islam. Pencampuran falsafah mistisme Islam dengan kultur Indonesia melahirkan pemikiran baru tentang Islam Indonesia, Islam kejawen dan Islam Indonesia bernuansa kenegaraan yang mampu menyerap apapun tanpa harus menghilangkan keislaman, dan menjadikan Islam sebagai agama yang kaya.
Keyakinan dan pemikiran Islam kejawen memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah, sehingga hampir setiap ritual pengorbanan dan sajian mereka menyebut nama Allah dan Nabi Muhammad.
Kemudian di era modern tampillah pemikiran-pemikiran baru Islam yang lebih bersahabat dan lebih moderat dengan lainnya. Dalam pemikiran ini, tema-tema yang sangat popular diantaranya adalah tentang Islam Indonesia, nasionalime, pluralisme dan relativisme. Hal ini memberi kesempatan Islam berbaur seluas-luasnya dengan siapapun.
Tokoh-tokoh pemikir Islam Indonesia memandang Islam bukanlah agama yang monoton, vakum, kuno, dan tidak mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak layak diangkat kepermukaan untuk menjadi landasan yang mampu memberikan jalan keluar bagi masyarakat kontemporer dari problematika kehidupan yang muncul dari globalisasi dunia. Tetapi mereka berpikir sebaliknya dan mengatakan bahwa Islam adalah agama yang bisa dinikmati di mana saja, oleh siapa saja dan kapan saja.
Pandangan demikianlah sebenarnya mengahasilkan ciri khas keislaman Indonesia. Sebagaimana dikatakan Adi Sasono dalam pengantar dalam satu buku popular, Islam Indonesia menerima, dan memperkuat apa yang telah disepakati bersama tentunya kesepakan kenegaraan, kebudayaan, dan lainnya di Indonesia. Dan juga telah melahirkan wajah-wajah baru Islam seperti nasionalisme, pluralism dan lainnya.
Alasan pemikiran tersebut karena memang Islam tidak hanya sekedar tulisan dan budaya yang berasal dari Timur Tengah saja, tetapi Islam mengandung makna esensial yang melebur disemua budaya masyarakat. Ketika Islam dihadapkan pada kultur yang baru di suatu wilayah. Pemahaman terhadap keislaman harus ditafsirkan kembali sesuai dengan suasana setempat, tapi penafsiran kembali pemahaman tersebut tidak melanggar ajaran Islam lainnya.
Terbukti dengan adanya pandangan masyarakat pedesaan terhadap guru (kiai) yang pada awalnya dipandang sepenuhnya sebagai pewaris nabi, dan tak pernah salah. Namun dengan adanya budaya lain seperti perkotaan dan budaya daerah lainnya masuk dalam kultur pedesaan tersebut, pemahaman keagamaan sedikir demi sedikit berubah haluan. Sehingga hubungan kiyaipun ditandai oleh solidaritas organis dari pada solidaritas mekanis yang pada akhirnya mengakibatkan adanya kesenjangan sosial antara murid dan guru.
Selanjutnya, relasi agama dengan pemerintahan memiliki mkna yang sangat erat. Memang al-Qur’an tidak pernah menjelaskan secara langsung, dan terperinci tentang adanya suatu lembaga konstitusi yang disebut Negara, hanya saja Negara mempunyai suatu prinsip dan tujuan nyata yang semuanya termaktub dalam pancasila. Di antaranya adalah pemerintah harus bersifat adil dan demokratis, masyarakat beragama, berketuhanan yang Maha Esa, yang di dalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan musyawarah dan keadilan. Hal ini tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, malah sangat sejalan dengannya. Dengan demikian mendirikan kenegaraan, dan menjalankannya bukan merupakan sikap melangkahi Islam, tetapi justru telah melaksanakan ajaran Islam secara esensial.
Dari berbagai alasan di atas muncul pemikiran-pemikiran nasionalis bahwa umat Islam tidak perlu memikirkan bagaimana mendirikan Negara Islam, tetapi cukup melaksanakan, dan mengokohkan sistem pemerintahan Indonesia dengan baik, hal itu sama saja dengan menjalankan ajaran Islam dengan baik pula.
Di samping itu sudah merupakan konsekuensi yang harus diterima Islam sebagai rakyat Indonesia yang menganut suatu kebebasan menerima arus perkembangan dunia yang termaktub dalam globalisasi dunia. Untuk menyikapi hal ini Islam memandang tidak harus menggigil ketakutan, dan menolak apa-apa yang berasal dari barat, atau sesuatu yang bernilai kebaratan yang mendominasi arus globalisasi. Tetapi sebaliknya, Indonesia harus berani berhadapan dengan globalisasi dan harus mampu menyeleksi, dan menggunakan globalisasi ini untuk kepentingan bersama. Karena memusuhi globalisasi sama saja dengan mencampakkan manfaat yang ada padanya dan menutup diri dari perkembangan dunia.
Islam juga tidak menulak adanya perbedaan yang ada pada globalisasi, bahkan Islam mengajarkan suatu perbedaan itu adalah rahmat yang menuntut umat Islam menghormati perbedaan, menghormati orang lain, budaya lain, dan apapun yang berbeda dengan yang dimiliki Islam. Jadi adanya nilai-nilai barat yang dibawa arus globalisasi merupakan rahmat.
Untuk menjadikan Indonesia yang maju, tentunya dalam menghadapi semua ini harus memupuk rasa nasionalisme. Indonesia tidak asal menerima apa yang dibawa globalisasi tapi menerima sebagian yang bisa diterima tapi tidak menghilangkan keindoneisaannya, karena itulah ciri khas Indonesia yang tidak dimiliki Negara lain, yang nantinya ciri khas, dan berkulturasi dengan dunia itulah yang menjadi Indonesia Negara yang unggul.
Post a Comment for "Falsafah Islam Indonesia"