Peranan Persia Dan India Dalam Falsafah Islam
Usaha besar-besaran untuk mengarabkan karya-karya filsafat, sains, dan kedokteran Yunani dengan dukungan penuh dari khalifah pertama Bani Abbas, dinasti Barmaki, Bani Syakir, dan Bani Musa, telah mengalirkan khazanah kebudayaan Yunai yang sangat kaya ke dalam masyarakat Muslim.
Perhatian para ilmuwan Muslim yang terpusat pada kebudayaan Yunani membuat kebudayaan India dan Persia kurang mendapatkan perhatian. Kebudayaan Romawi juga relatif tertutup bagi orang-orang Muslim dibandingkan dengan kebudayaan Yunani. Dan kalaupun ada, hanya terbatas pada soal-soal astronomi, kedokteran, dan sedikit mengenai ajaran-ajaran keagamaan.
Pustakawan terkemuka, Ibn Al-Nadim (w. 995 M), dalam Fihrist-nya menyebutkan sebuah risalah berjudul “On The Creeds and Religions of India” yang beredar pada masa hidupnya. Risalah ini disaksikan oleh Ibn Al-Nadim dalam tulisan tangan Al-Kindi. Ibn Al-Nadim juga menyebutkan sejumlah risalah yang dijadikannya sebagai sumber rujukan untuk mengenali keyakinan keagamaan orang-orang India.
Sejarawan dan astronom Muslim terkemuka, Al-Biruni (w. 1048 M), secara terperinci dan gemilang menguraikan kepercayaan fundamental orang-orang Hindu dan menyejajarkannya dalam filsafat Yunani dalam bukunya, Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah (kebenaran ihwal kepercayaan rakyat India). Dalam bukunya tersebut Al-Biruni melansir penulis abad ke 9 yang bernama Abu Al-Abbas Al-Iransyahri. Menurut Al-Biruni, Al-Iransyahri sangat menguasai doktrin-doktrin keagamaan India. Dan karena itu, Al-Iransyahri ikut mewarnai pemikiran filosof dan tabib terkemuka, Abu Bakr Al-Razi (w. 925 M). khususnya yang berkenaan dengan konsep ruang-waktu dan komposisi atomik dan benda-benda fisik. Beberapa aspek dari atomisme India ini memang kelihatan mengilhami atomisme Kalam, yang merupakan sendi penting dalam teologi Islam [1].
Pengaruh Persia juga terbatas pada pengetahuan sastra dan ajaran-ajaran moral. Contoh paling kuno dalam pengetahuan sastra Persia adalah buku berjudul Kalilah wa Dimnah yang diterjemahkan oleh Ibn Al-Muqaffa‘ (w. 759 M). karya lain yang tidak kalah menariknya adalah Jawidan Khirad (kebijaksanaan abadi) yang dikumpulkan oleh filosof etika asal Persia yang paling terkemuka dalam sejarah Islam bernama Miskawaih (w. 1030 M). Menurut Miskawaih, karyanya tersebut terdiri atas semua hal yang bisa dimuatnya tentang “wejangan-wejangan moral dari empat bangsa, yaitu Persia, India, Arab, dan Yunani. Bagian pertama dari kumpulan ini terdiri atas wejangan-wejangan para raja Persia prasejarah, seperti Ushahang (Hoshang), Buzurgimhr, Anusyirwan, Bahman, dan yang lainnya[2].
Pengaruh Persia yang paling kuat bersumber dari doktrin-doktrin Manichaenisme yang merasuki pemikiran para penyair, filosof, dan politisi Muslim, bahkan para khalifah. Sumber-sumber yang diperoleh penulis manyebutkan bahwa di antara mereka yang dituduh beraliran Manichaenis (dalam bahasa Arabnya disebut zindiq, yang berarti seorang ahli tentang kitab suci Zoroaster, Zend Avesta) adalah sastrawan Basysyar ibn Burd, Abu Isa Al-Warraq, para anggota suku Barmak, Ibn Al-Muqaffa’, dan Khalifah Umayyah, Marwan.
Namun, dalam perkembangan falasafah Islam, sejarawan barat tidak mengakui terhadap perkembangan falsafah Islam yang berawal dari para mutakallim, mereka mengakui falsafah islam dimulai dari setelah kalam, sehingga dengan demikian orang al Kindi lah yang merupakan failasuf Islam pertam yang pada saat itu bersamaan dengan penerjemahan besar-besaran, dan sistematik di Baitul Hikmah yang secara cepat berpindah ke teks tradisi Yunani, dan meninggalkan penerjemahan, dan pembahasan terhadap teks-teks tradisi pemikiran Persia-India[3]. Sehingga dalam hal ini peranan falsafah India-Persia sangatlah sedikit yang hanya digambarkan dalam para failasuf yang dianggap sangat spekulatif dalam tradisi Islam seperti al Kindi, al Farabi, dan Ibnu Sina.
Walaupun kemudian sikap “antifilsafat Yunani” berkembang luas di kalangan para teolog, filsafat patut berbangga atas dukungan kuat kelompok cerdik-pandai dan pengarang kenamaan masa itu yang telah bahu-membahu melanjutkan tradisi para pendahulu mereka.
Penerjemahanterhadap karya-karya berbahasa Suryani atupun Yunani ke dalam bahasa arab dimulai sekitar abad ke 8. di mulai dari Dinasti Umayyah, kemudian diteruskan oleh para khalifah dari Dinasti Abbasiyah. Bahkan, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Bait Al-Hikmah di Bagdad sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Perhatian para ilmuwan Muslim yang terlalu berpusat terhadap kebudayaan Yunani membuat kebudayaan India dan Persia kurang mendapatkan perhatian. Kalaupun ada, hanya terbatas pada soal-soal astronomi, kedokteran dan sedikit mengenai ajaran keagamaan.
Daftar Pustaka
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. (Bandung: Penerbit Mizan. 2002)
Ensiklopedi Filsafat Islam, penerjemah, tim penerjemah mizan, (Bandung: Mizan, cet I, 2003)
Post a Comment for "Peranan Persia Dan India Dalam Falsafah Islam"