Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Agama Sebagai Sumber Harmoni Dalam Masyarakat Multikultural

Oleh Izzuddin 
Mahasiswa Program Doktoral SPS UIN Jakarta
 
Pendahuluan
Agama, yang merupakan wahyu Tuhan, dapat melahirkan sikap integratif yang positif dalam masyarakat. Namun pada saat yang sama, agama juga dapat melahirkan sikap konfrontatif yang negatif dalam masyarakat. Dua potensi agama ini dapat diuji dalam masyarakat multikultural, yakni masyarakat yang terdiri dari beragam budaya, ras, dan golongan. Potensi harmoni dan konflik agama ini sangat tergantung pada pemahaman pemeluknya terhadap teks-teks ajaran agamanya. Bila teks-teks ajaran agama dipahami secara eksklusif disertai sikap kebencian terhadap pemeluk agama lain, maka agama akan menjadi sumber konflik. Sebaliknya, bila teks-teks ajaran agama dipahami secara inklusf disertai sikap penghargaan terhadap pemeluk agama lain, maka agama akan menjadi sumber harmoni.
Masalahnya, dengan demikian, tidak terletak pada agamanya, namun pada sikap dan pemahaman pemeluknya terhadap teks-teks ajaran agamanya. Makalah ini akan membahas dua wajah agama yang memunculkan dua potensi: harmoni dan konflik. Setelah itu ia akan mengetengahkan sikap keberagamaan yang seharusnya dikembangkan oleh pemeluk agama agar agama hadir dalam kehidupan masyarakat sebagai sumber harmoni, bukan sumber konflik. 

Agama dan Masyarakat Multikultural
Pada dasarnya, semua agama mengandung ajaran tentang nilai-nilai kesucian universal, mengajarkan kebaikan untuk sesama, dan mendorong terciptanya suasana damai.[1] Watak dasar agama ini sebenarnya merupakan watak dasar manusia juga yang mencintai kesucian. Julian Huxley, seperti dikutip Nurcholish Madjid, mengatakan bahwa realitas keagamaan yang esensial—yakni yang berupa pengalaman khusus yang berusaha menyatakan dirinya dalam simbol-simbol dan mencari pernyataan intelektualnya dalam ilmu kalam/teologi—ialah rasa kesucian.[2]
Rasa kesucian ini erat kaitannya dengan  rasa kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan, dan seterusnya yang serba sublime atau tinggi. Adanya rasa kesucian yang serba mencakup itu pada jiwa manusia, secara alamiah/fitrah telah membuat manusia menjadi apa yang disebut h{ani>f dalam agama (Islam). Jadi, agama adalah pernyataan keluar sifat h{ani>f manusia yang telah tertanam dalam jiwanya.[3]
Namun demikian, watak dasar agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesucian dan kebaikan tidak otomatis menjadi sumber harmoni yang menyebarkan kedamaian dalam kehidupan sosial. Dalam banyak hal, agama bahkan menjadi sumber konflik yang menyebarkan kebencian. Potensi harmoni dan konflik agama ini erat hubungannya dengan pemahaman pemeluknya terhadap teks-teks ajaran agama. Bila teks-teks ajaran agama dipahami secara eksklusif disertai sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain, maka agama akan mudah menjadi sumber konflik sosial. Sebaliknya, bila teks-teks ajaran agama dipahami secara inklusf disertai sikap persahabatan dengan pemeluk agama lain, maka agama akan mudah menjadi sumber harmoni sosial. Jadi, masalahnya tidak terletak pada agamanya, namun pada sikap dan pemahaman pemeluknya terhadap teks-teks ajaran agamanya.
Dalam masyarakat multikultural (masyarakat majemuk budaya, etnis, dan agama), sikap dan pemahaman pemeluk agama terhadap teks-teks ajaran agamanya sangat menentukan apakah agama akan menjadi sumber harmoni ataukah sumber konflik, karena masyarakat multikultural terdiri dari beragam budaya, ras, dan juga tentu agama. Dalam masyarakat multikultural, para pemeluk agama tertentu tidak hanya hidup bersama pemeluk agama yang lain, mereka juga hidup berdampingan dengan orang yang punya budaya yang berbeda dengan ras yang berbeda pula.
Mengapa faktor (pemahaman) agama sangat menentukan, karena di antara teks-teks ajaran agama terdapat bagian tertentu yang membicarakan kelompok agama lain, yang bagi sebagian pemeluknya dimaknai dalam pemahaman yang konfrontatif. Pemeluk agama lain diposisikan sebagai “orang lain”, musuh, dan lawan, yang sama sekali tidak mempunyai kesamaan dengan dirinya. Pemeluk agama lain dinilai sebagai pihak yang salah dan penuh kesesatan, sementara yang benar dan selamat hanya pemeluk agamanya sendiri.
Sikap keberagamaan demikian membawa seseorang pada sikap keberagamaan yang disebut eksklusif, yakni sikap yang menganggap bahwa agama yang dipeluknya saja yang benar dan mengantarkannya pada jalan keselamatan, sementara agama yang dipeluk kelompok lain adalah salah dan mengantarkan pemeluknya pada jalan kesesatan. Dalam Islam, sikap ini terutama dikembangkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an seperti, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) atau agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di akhirat (QS. Ali ‘Imran [3]: 85).[4]            
Bagi agama Kristiani, inti sikap ini tecermin dari keyakinan agama ini bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14: 6). Juga ungkapan demikian, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Rasul 4, 12).[5]  
Sikap eksklusif ini tentu memengaruhi sikap seorang pemeluk agama terhadap pemeluk agama yang lain. Sikap ini juga mudah melahirkan sikap konfrontatif dan permusuhan karena cenderung menyalahkan dan merendahkan kelompok lain. Beberapa konflik agama yang terjadi pasca Orde Baru, seperti kerusuhan Situbondo dan konflik Poso, misalnya, tak bisa dilepaskan dari sikap eksklusif ini. Di awal era pasca Orde Baru ini, hubungan Muslim dan Kristen di beberapa daerah di Indonesia berlangsung dalam keadaan tidak harmonis dan bahkan keduanya memanas dan terlibat konflik.[6]    
Kerusuhan Situbondo berawal dari kasus Saleh (28 tahun, seorang Kristen) yang menyulut kemarahan umat Muslim karena menghina Allah Swt dan KH. As’ad Syamsul Arifin. Kerusuhan ini pecah pada tanggal 10 Oktober 1996. Massa menjadi beringas dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Tercatat 24 gereja di lima kecamatan, beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan took-toko milik orang keturunan Tionghoa dibakar. Dalam kerusuhan itu, lima orang keluarga pendeta Ishak Christian tewas terpanggang api. Keluarga Ishak Christian tinggal di dalam kompleks Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) yang terletak di Jl. Basuki Rachmat, Surabaya.[7] 
Demikian juga dengan konflik Poso. Massa Kristen membakar dan memorakporandakan kompleks pendidikan pesantren Walisongo dan sebanyak 73 Muslim terbunuh di tangan massa Kristen. Sebaliknya, pada tanggal 18 April 2000, massa Muslim menyerang kawasan Lombogia yang berpenduduk Kristen. Sebanyak 127 rumah; dua gedung gereja; gedung SD, SMP, dan SMA Kristen dibakar oleh massa Muslim. Warga Kristen dalam jumlah yang cukup besar mengungsi ke Madele, Kampompa, Pamoran Utara, dan Bukit Bambu.[8]  
Dalam masyarakat multikultural, konflik agama adalah suatu potensi yang setiap saat akan muncul ke permukaan bila di dalam masyarakat tersebut tidak ada upaya atau rekayasa sosial yang dapat menumbuhkan semangat kebersamaan dan persaudaraan. Sebaliknya, bila dalam masyarakat tersebut terdapat upaya atau rekayasa sosial yang mengupayakan sikap kooperatif antarwarga, maka konflik agama dapat diminimalkan.[9]

Makalah Ini tidak lengkap. Untuk mengambil lengkap silahkan DOWNLOAD DI SINI. 


[1] Setiap agama mengajarkan perdamaian. Dalam Islam, pesan perdamaian kuat sekali karena kata Islam sendiri bermakna keselamatan dan perdamaian. Ucapan sala>m misalnya, merupakan ajaran perdamaian, berisi doa agar orang yang menjadi rekan dialog ikut memeroleh kehidupan yang selamat di dunia dan akhirat. Dalam tradisi Kristiani, makna salam yang diverbalkan dengan shalom merupakan pesan damai yang disampaikan kepada semua orang dalam perjalanan. Pada ajaran Hindu dikenal ucapan om swasty astu, yang artinya semoga selamat atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam agama Buddha dikenal sebutan namo buddhaya, artinya terpujilah Buddha. Buddha merupakan manusia tercerahkan yang cinta damai. Dengan memuji Buddha, sebenarnya umat Buddha ingin mentransmisikan rasa cinta damai dalam dirinya dan menyampaikannya pada orang lain. Pada agama Konghucu ucapan salam ialah gong zhu sambil diikuti dengan sikap pai (tangan kanan dikepal dengan ditutupi tangan kiri dan diangkat sampai ke dagu untuk yang sebaya). Lihat M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015), hlm. 5-6.    
[2] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. 1 (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 122.
[3] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan…, hlm. 122-123.
[4] Budhi Munawar-Rahman, “Perspektif Global; Islam dan Pluralisme”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, Nomor 1, 2010, hlm. 37.
[5] Dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, “Paradigma Dialog Teologis dan Persoalan Pluralisme Antar Agama”, Makalah Bedah Buku “Tiga Agama Satu Tuhan”, Keluarga Muslim Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1998, hlm. 7. 
[6] Faisal Ismail, Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama, cet. 1 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 85.
[7] Faisal Ismail, Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama…, hlm. 85.
[8] Faisal Ismail, Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama…, hlm. 86-87.
[9] Agar keragaman budaya, etnis, dan agama tidak mengarah pada konflik, “Kita,” kata Geertz, seperti dikutip Budi Hardiman, “membutuhkan sebuah politik baru, yakni politik multikulturalisme: sebuah politik yang melihat penegasan diri etnis, religius, ras, bahasa ataupun regional tidak sebagai irrasional masa silam ataupun bawaan, sebagai irrasionalitas yang harus ditekan atau diatasi; suatu politik yang memperlakukan berbagai ungkapan kolektif ini tidak sebagai kegilaan yang dilecehkan ataupun sebagai emosi yang tak terkenali, melainkan menghadapi berbagai ungkapan kolektif ini seperti juga menghadapi ketidaksamaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan problem-problem sosial lainnya.” Lihat F. Budi Hardiman, “Pengantar: Belajar dari Politik Multikulturalisme,” dalam Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, cet. 2 (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. viii-ix.      
Hairus Saleh
Hairus Saleh Akademisi jadi blogger. Blogger menjadi tempat untuk tuangkan berbagai gagasan dan pemikiran.

Post a Comment for "Agama Sebagai Sumber Harmoni Dalam Masyarakat Multikultural"

close