Al Qur’an Qodim, Benarkah?
Oleh Hairus Saleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Syiah sebagaimna Mutazilah berpendapast bahwa al-Quran adalah makhluk. Alasannya, bila al-Quran dikatakan qadim, maka hal itu menimbulkan ta’addud al-aquddama. (berbilangnya seperti qadim), Ali. [5]
Kemudian kalam Allah dalam pandangan syi’ah adalah semua bentuk alam ini merupakan bahasa Allah. Sedangkan diketahui alam merupakan makhluk yang diciptakan Allah, sehingga kalam allah pun jelas merupakan makhluk, jadid.
Ahmad Hanafi M.A, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet vii, 1974
Dr. Abdurrozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka, Cet. V 2010
Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, cet. i, 2003
[1] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 52
[2] Ahmad Hanafi M.A, Theology Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet vii, 1974), h.1164
[3] Ahmad Hanafi M.A, h.116
[4] Dr. Abdurrozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka, Cet. V 2010), h. 114
[5] Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, cet. i, 2003), h.16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penahuluan
Kajian tentang ketauhidan merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan oleh para teolog Islam sekitar beberapa abad yang lalu. Tema yang cukup menarik pada saat itu diantaranya adalah tentang konsep iman, kedudukan akal, wahyu, kehendahk Tuhan, takdir, sifat Tuhan, perbuatan Tuhan dan al Qur’an.Setiap golongan mempunyai pendapat yang berbeda dalam menghadapi permasalahan tersebut. Pendapat itu sesuai dengan sudut pandang dan keyakinan mereka akan perspektif yang mereka gunakan. Namun yang jelas, pendapat-pendapat mereka cukup memuaskan dan kaya. Kita bisa menilainya dari kekuatan dalil-dalil yang mereka gunakan, baik dalil naqli maupun dalil aqli.
Setiap golongan mempunyai kecondongan-kecondongan tersendiri (cirri khas) dalam mencoba memahami tingkah bebas Tuhan. mu’tazilah lebih cendrung pada akal yang mereka punya. Salafiyah menTuhankan teks-teks wahyu. As Sunnah mengedepankan keduanya, tapi lebih pada wahyu.
Adanya perbedaan pandangan yang menarik itu lah yang menjadikan Islam kaya akan pemikiran. Islam bukanlah agama pasif yang selalu hidup tergeletak mengikuti dunia. Tapi Islam adalah agama yang tumbuh bersama dunia, bersaing mengelola dunia untuk menjawab tantangan zaman.
Kemudian dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memotret perdebatan mereka dalam menyikapi keberadaan alqur’an. Ini adalah hal yang sangat menarik sekali jika dicoba di elaborasikan dengan perkembangan zaman dengan catatan tidak keluar dari pendapat sang pengucap.
Adanya perbedaan pandangan yang menarik itu lah yang menjadikan Islam kaya akan pemikiran. Islam bukanlah agama pasif yang selalu hidup tergeletak mengikuti dunia. Tapi Islam adalah agama yang tumbuh bersama dunia, bersaing mengelola dunia untuk menjawab tantangan zaman.
Kemudian dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memotret perdebatan mereka dalam menyikapi keberadaan alqur’an. Ini adalah hal yang sangat menarik sekali jika dicoba di elaborasikan dengan perkembangan zaman dengan catatan tidak keluar dari pendapat sang pengucap.
Nasib al Qur’an di Tangan Para Teolog (Kelompok Teolog)
Sungguh sangat menggugah hati ketika hewan yang berpikir berusaha merumuskan dan memahami bahasa Tuhan.
Tuhan adalah suatu yang tak terbatas. Ia juga beraktifitas sebagaimana aktifitasnya. Kemudian ia berfirman entah seperti apakah firman yang sebenarnya, tapi yang jelas firman itu menjelma sebagai al Qur’an. Firman inilah yang menyebabkan perbedaan yang sangat signifikan, yang akan dibahas dalam pembahasan di bawah ini.
Tuhan adalah suatu yang tak terbatas. Ia juga beraktifitas sebagaimana aktifitasnya. Kemudian ia berfirman entah seperti apakah firman yang sebenarnya, tapi yang jelas firman itu menjelma sebagai al Qur’an. Firman inilah yang menyebabkan perbedaan yang sangat signifikan, yang akan dibahas dalam pembahasan di bawah ini.
Al Qur’an di Tangan Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an yang dalam istilah teologi disebut dengan kalam Allah itu makhluk, bukanlah sifat yang qadim atau kekal, tetapi hadis dalam arti baharu dan diciptakan Tuhan. Kepercayaan ini kelanjutan dari kepecayaan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka mendefinisikan kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan bersifat qodim dan merupakan ciptaan Tuhan. inilah yang dimaksud kaum mu’tazilah dengan al Qur’an diciptakan dan bukan qodim.
Argument yang lain tentang al Qur’an bahwasanya al Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat. Ayat yang satu mendahului yang lain. Dan surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu sifat terdahulu dan sifat datang kemudian membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qodim, yaitu tak bermula. Karena yang tak bermula tidak didahului apapun.
Salah seorang pemuka mu’tazilah yaitu al Syahrastani dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al Qur’an tidak bersifat qodim tetapi diciptakan Tuhan, dan ia memandang orang yang mengatakan al Qur’an qodim menjadi kafir karena dengan demikian orang itu telah membuat yang bersifat qodim menjadi dua.[1] Dalam hal ini aliran mu’tazilah mengungkapkan dua macam alasan yaitu alasan syara’ dan alasan secara rasional.
Alasan syara’ di antaranya; “Kami Jadikan Al Qur’an Berbahasa Arab “al Zukhruf Ayat 4, “”Jika Seseorang Diantara Orang Musyrik Itu Meminta Kepada Engkau Supaya Ia Diamankan, Hendaklah Engkau Amankan Sampai Ia Mendengan Perkataan Allah (Q.S at Taubat Ayat 6)” dan didalam al qur’an diceritakan kejadian-kejadian yang dialami umat masa lampau, hal ini berarti al qur’an itu baru sebab berhubungan dengan sejarah.[2]
Alasan logis; al Qur’an tidak ada gunanya jika Al Qur'an qodim ketika tidak ada manusia dan kejadidan al qur’an dibuktikan dengan adanya perbedaan wahyu yang diturunkan pada stiap rosul.
Argument yang lain tentang al Qur’an bahwasanya al Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat. Ayat yang satu mendahului yang lain. Dan surat yang satu mendahului yang lain pula. Adanya pada sesuatu sifat terdahulu dan sifat datang kemudian membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qodim, yaitu tak bermula. Karena yang tak bermula tidak didahului apapun.
Salah seorang pemuka mu’tazilah yaitu al Syahrastani dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al Qur’an tidak bersifat qodim tetapi diciptakan Tuhan, dan ia memandang orang yang mengatakan al Qur’an qodim menjadi kafir karena dengan demikian orang itu telah membuat yang bersifat qodim menjadi dua.[1] Dalam hal ini aliran mu’tazilah mengungkapkan dua macam alasan yaitu alasan syara’ dan alasan secara rasional.
Alasan syara’ di antaranya; “Kami Jadikan Al Qur’an Berbahasa Arab “al Zukhruf Ayat 4, “”Jika Seseorang Diantara Orang Musyrik Itu Meminta Kepada Engkau Supaya Ia Diamankan, Hendaklah Engkau Amankan Sampai Ia Mendengan Perkataan Allah (Q.S at Taubat Ayat 6)” dan didalam al qur’an diceritakan kejadian-kejadian yang dialami umat masa lampau, hal ini berarti al qur’an itu baru sebab berhubungan dengan sejarah.[2]
Alasan logis; al Qur’an tidak ada gunanya jika Al Qur'an qodim ketika tidak ada manusia dan kejadidan al qur’an dibuktikan dengan adanya perbedaan wahyu yang diturunkan pada stiap rosul.
Al Qur’an di Tangan as Sunnah
Kaum as Sunnah berpegang keras, bahwa sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan adalah kekal. Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak bisa besifat kekal atau qodim. Meraka memberi definisi lain tentang sabda atau kalam. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara. Sabda yang tersusun hanya dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya adalah apa yang terletak dibalik yang tersusun itu. firman yang tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah kata-kata Tuhan.
Dengan kata lain al Qur’an dibagi dua bagian yaitu, perkataan yang ada pada zatNya (sifat zat dan qodim) dan perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf (tidak kekal).[3]
Memang agak sulit memahami pendapat as Sunnah ini, karena terlalu abstrak. Nampaknya ia lebih mendahulukan substansi. Ia mengatakan bahwa al Qur’an secara tulisan dan suara yang kita kenal adalah jadid, karena ia hanyalah salinan dari firman allah yang bisa dirubah, bisa dibakar. Sedangkan al Qur’an secara esensial adalah qodim. Namun kekalnya disini tidak sama dengan qodim Tuhan itu sendiri. Qodim Tuhan tidak terbatas, tidak disebabkan apapun dan tidak bersandar pada apapun. Sedang qodim al Qur’an masih bersandar pada allah.
Dengan kata lain al Qur’an dibagi dua bagian yaitu, perkataan yang ada pada zatNya (sifat zat dan qodim) dan perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf (tidak kekal).[3]
Memang agak sulit memahami pendapat as Sunnah ini, karena terlalu abstrak. Nampaknya ia lebih mendahulukan substansi. Ia mengatakan bahwa al Qur’an secara tulisan dan suara yang kita kenal adalah jadid, karena ia hanyalah salinan dari firman allah yang bisa dirubah, bisa dibakar. Sedangkan al Qur’an secara esensial adalah qodim. Namun kekalnya disini tidak sama dengan qodim Tuhan itu sendiri. Qodim Tuhan tidak terbatas, tidak disebabkan apapun dan tidak bersandar pada apapun. Sedang qodim al Qur’an masih bersandar pada allah.
Al Qur’an di Tangan Salafiyah
Pendapat salafiyah tentang al Qur’an adalah sebagaiman yang diterangkan ibnu hambal. Ia mengatakan bahwa al Qur’an tidak diciptakan. Tapi dia tidak melontarkan alasan-alasan lebih lanjut tentang hal itu. Didalam buku Harun Nasution “Teologi Islam”. Imam bin Hambal yang merupakan generasi terakhil salafiyah, mereka tidak mengakui bahwa al-Quran itu makhluk.[4]
Perkataan itu muncul ketika gubernur Iraq yang bernama Ishaq bertanya tentang al Qur’an kepada ibnu hambal. pertanyaan ishaq tidak dilandaskan pada ketidak tahuannya, tetapi ia ingin menguji pendapat ibnu hambal tentang perbedaan perspektif terhadap status al Qur’an dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al Qur’an adalah Jadid dan diciptakan.
Perkataan itu muncul ketika gubernur Iraq yang bernama Ishaq bertanya tentang al Qur’an kepada ibnu hambal. pertanyaan ishaq tidak dilandaskan pada ketidak tahuannya, tetapi ia ingin menguji pendapat ibnu hambal tentang perbedaan perspektif terhadap status al Qur’an dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al Qur’an adalah Jadid dan diciptakan.
Al Qur’an di Tangan Syi’ah
Syiah sebagaimna Mutazilah berpendapast bahwa al-Quran adalah makhluk. Alasannya, bila al-Quran dikatakan qadim, maka hal itu menimbulkan ta’addud al-aquddama. (berbilangnya seperti qadim), Ali. [5]
Kemudian kalam Allah dalam pandangan syi’ah adalah semua bentuk alam ini merupakan bahasa Allah. Sedangkan diketahui alam merupakan makhluk yang diciptakan Allah, sehingga kalam allah pun jelas merupakan makhluk, jadid.
Kesimpulan
Memang terdapat suatu perbedaan pendapat yang sangat signifikan terhadap status al qur’an, namun ada juga yang sedikit ada kemiripan pendapat tentang kedudukan al qur’an. Hal itu hanya sekedar ada kemiripan dalam segi kata kunci.Daftar Pustaka
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 2010Ahmad Hanafi M.A, Theology Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet vii, 1974
Dr. Abdurrozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka, Cet. V 2010
Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, cet. i, 2003
[1] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 52
[2] Ahmad Hanafi M.A, Theology Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet vii, 1974), h.1164
[3] Ahmad Hanafi M.A, h.116
[4] Dr. Abdurrozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka, Cet. V 2010), h. 114
[5] Nasr, Seyyid Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, penerjemah; tim penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, cet. i, 2003), h.16
8 comments for "Al Qur’an Qodim, Benarkah?"
saya sangat setuju dengan pendapat salafiyah... ahmad bin hanbal...
sangat aman...
thanks admin....!
Al-Quran adalah tidak Qadim. Al-Quran adalah benda baharu, benda yang dijadikan, adalah satu makhluk Allah SWT.
Allah SWT sendiri yg mengatakan "Kami yang menjadikan kitab Al-Quran" (43:3 & 41:44). Adakah Allah menjadikan dirinya sendiri?
Allah SWT sendiri yg mengatakan Al-Quran itu bertempat di "Luh Mahfuz" (85:22). Adakah sifat Allah itu bertempat?
Allah SWT sendiri yg mengatakan Dia yg menjaga Al-Quran (15:9). Adakah Allah SWT perlu menjaga diriNya sendiri?
Dan byk lagi nusus (dalil dari Al-Quran) yg menjelaskan bahwa Al-Quran itu tdk Qadim, dan adalah makhluq. Marilah bertaubat, dan jgn lagi syirik kepadaNya.
Wallahu a'lam.
lalu bangai mana mendefinisikan antara qodim dan jadid..
apakah yang dikatakan qodim dan jadid itu berkaitan dengan waktu atau tidak..
atau hanya berkaitan dengan proses?
anonymous: ababun nuzu itu sebab-sebab turun. klo dikajian al Qur'an sebab-sebab turunnya al Qur'an. menurut kami seperti itu. klo ada pendapat lain dipersilahkan sharing di sini mas bor..